I. PENDAHULUAN
Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merdeka merupakan salah satu keinginan insani yang amat mendasar. Maka tidak mengerankan bahwa masalah kebebasan sudah banyak disoroti dalam tulisan-tulusan di pelbagai bidang. Kebebasan warga Negara dibicarakan dengan hangat dalam bidang politik. Dunia ekonomi mengenal pasaran bebas. Di bidang pendidikan pun kebebasan anak didik sering kali meenjadi pusat perhatian. Dan juga di lingkungan kehakiman, misalnya berhubungan dengan rumah-rumah tahanan, masalah kebebasan tak mungkin diabaikan.
Adakah hubungan yang niscaya antara kesadaran akan kebebasan di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan di lain pihak? Dengan hubungan “niscaya” dimaksudkan hubungan yang tak dapat tidak ada. Maka timbul pertanyaan apakah keterbatasan itu termasuk hakekat kebebasan? Dan juga dipersoalkan apakah sebuah kebebasan yang tak terbatas itu mungkin atau tidak?
Tak dapat disangkal bahwa pengalaman akan keterbatasan merupakan salah satu komponen di dalam pengalaman kita akan kebebasan.
II. POKOK PEMBAHASAN
1. Apa Pengertian Kebebasan?
2. Masalah Kebebasan: Soal Filsafat Ataukah Soal Teologi ?
3. Masalah Koeksistensi: Apakah Kebebasan Atau Ketergantungan Transendental ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebebasan
Pada dirinya sendiri kata “bebas” tidaklah jelas artinya. Dari pemakaian kata ini terlihat bahwa kata ini bias menunjukkan kenyataan-kenyataan yang berbeda-beda, bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Namun semua kenyataan itu ditunjukkan dengan satu kat yang sama karena memang terdapat kesamaan juga, yakni keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Kiranya keadaan inilah yang merupakan arti paling umum dan mendasar yang dimiliki istilah “kebebnasan”.[1]
Jadi dalam arti khusus ini, “kebebasan” merupakan suatu kemampuan manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arti dan arahkepada hidup dan karyanya; pun pula kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada kita oleh hal ihwal kehidupan.[2]
B. Masalah Kebebasan- (Soal Filsafat Ataukah Soal Teologi?)
- Yohanes Duns Scotus (1266-1308)
Scotus mengajukan pertanyaan apakah manusia dapat "memilih" (dalam arti: menjatuhkan putusan) dengan bebas. Kalau pertanyaan diajukan secara demikian, maka yang dipertanyakan kebebasannya ialah putusan. Scotus memberi jawaban afirmatif, baik berdasarkan iman kepercayaannya maupun berdasarkan pertimbangan filosofis. Setelah manusia (pertama) jatuh dalam dosa, ia tetap dianugerahi dengan kebebasan. Ini memang kebenaran !man, tetapi demikian Scotus kebenaran ini dapat juga ditangkap oleh akal budi yang alamiah, sebab: "kita alami bahwa kita dapat mengejar ataupun tidak mengejar objek mana pun juga". Walaupun Scotus beranggapan bahwa manusia itu bebas karena berakal budi, namun alasan yang lebih mendalam mengapa manusia itu bebas tidak terletak dalam “indifferentia iudicii" melainkan dalam "indifferentia voluntafis".
Yang di maksudkan dengan istilah "indifferentia" yaitu keadaan batin manusia yang "tak tentu" belum ditentukan oleh akal budi mana yang benar. A atau B, tetapi juga belum ditentukan oleh kemauan mana yang diinginkan dan dipilihnya. A atau B. Selama akal budi belum memutuskan mana Yang benar, mana tidak benar, terdapat "indifferentia iudicii": belum ada keputusan mengenai nilai yang dihadapkan kepada akal budi. Begitu pula selama kehendak belum menentukan nilai manakah yang mau dikejarnya, masih terdapat "indifferentia voluntatis". Nah, dengan menyatakan bahwa dasar kebebasan bukan pertama-tama indiferensi putusan melainkan terutama indiferensi kehendak, Scotus mempunyai pendirian yang juga penting bagi, hakikat kebebasan. Sebab pendirian ini berarti bahwa penilaian dan pengertian yang kita punyai tentang nilai "A" dan nilai "B" tidak membawa kepada preferensi bag, yang satu, lebih daripada bagi yang lain. Dalam filsafat Scotus kehendak merupakan kemampuan yang lebih sempurna daripada intelek.
Realitas tidak dapat tereduksi menjadi suatu system hokum. Besarnya dunia indra menjadikan penjelasan lengkap apapun menjadi mustahil.[3]
- Gulielmus (William) dari Ockham (1285-1349)
Seperti Scotus begitu pula Ockham menjawab positif atas pertanyaan apakah manusia bebas (dalam anti: mempunyai kehendak yang bebas). Dan Ockham pun, menunjuk kepada pengalaman untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya ini. Tetapi sekaligus ia be pendapat bahwa kebebasan itu tidak dapat dibuktikan.
Di satu. pihak Ockham menegaskan bahwa dipandang secara filosofis kebebasan insani tidak dapat dibuktikan, karena dalam usaha membuktikan kebebasan, tidaklah tersedia premis-premis yang dikenal dengan lebih baik daripada apa yang mau dibuktikan. Dalam membuktikan sesuatu, orang beralih dari hal-hal terkenal kepada yang tak terkenal. Tetapi dalam hal kebebasan, "setiap pembuktian rasional bertolak dan premis-premis yang sama-sama patut diragukan dan lama-sama tak terkenal seperti konklusinya (yaitu kebebasan) atau lebih lagi". Dengan kata lain, dalam hal kebebasan itu derajat kepastian yang dimiliki oleh titik tolak jalan pembuktian, tidaklah lebih tinggi daripada derajat kepastian konklusi.
Di lain pihak Ockham mengatakan pula bahwa kebebasan dikenal dengan terang nyata melalui pengalaman, "per experientiaim " (bdk. Scotus: "immo experimur"). Lagi pula, seandainya tidak ada kebebasan maka lenyaplah juga segala sesuatu yang bersifat kebetulan ("contingency"). "Satu-satunya yang bebas ialah kehendak", demikian Ockham.
- Petrus (= Pietro) Pomponazzi (1462-1525)
Berkenaan dengan masalah kebebasan, dilihat dari segi filsafat, hanya ada satu ajaran yang konsekuen, kata Pomponazzi, yakni ajaran kaum Stoa. Menurut mazhab Stoa, kebebasan merupakan keaktifan batin semata-mata. Hanya dalam batinnya saja manusia bebas untuk menerima atau tidak menerima "peristiwa alam raya", yang terjadi dengan keharusan dan secara niscaya. Sikap manusia terhadap peristiwa dunia sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap jalannya peristiwa itu sendiri yang sudah ditentukan seluruhnya sejak semula. Entah manusia menerimanya entah tidak, ia toh tak dapat mengubah apa-apa.
Bagi Pomponazzi, pendapat orang Kristen bersifat kontradiksi. Menurut agama kristiani (seperti juga menurut agama Yahudi dan agama Islam) segala sesuatu yang terjadi di dunia ini diselenggarakan oleh Tuhan dan ditentukan oleh-Nya (kausalitas ilahi bersifat transendental), tetapi kendati demikian manusia toh bebas juga. Memandang pendapat ini sebagai kontradiksi, Pomponazzi berkata bahwa kita harus konsekuen dalam pemikiran kita dan secara filosofis menerima bahwa segala sesuatu dikuasai oleh nasib dan oleh penentuan Penyelenggaraan Ilahi ("Takdir"). Apa saja yang dilakukan manusia itu ditentukan oleh nasib.
Maka Pomponazzi berkesimpulan bahwa secara filosofis tidak ada soal lagi: "Pendapat kaum Stoa rupanya lebih masuk akal daripada pendapat kaum Kristen". Jadi, ajaran Stoa itu ajaran yang tepat mengenai masalah kebenaran, demikian Pomponazzi. Tetapi ajaran ini bertentangan dengan ajaran agama kristiani. Dan karena Pomponazzi menganut agama Kristen, ia tidak dapat menerima Stoisisme. Dengan kata lain, ia berpendirian bahwa kebenaran bersifat ganda: ada kebenaran filosofis dan ada kebenaran iman.
Persepsi tidak harus melibatkan kesadaran. Perlu diingat bahwa Lebniz menggunakan kata tersebut dengan cara yang agak membingungkan. Bagi Whitehead, setiap entitas actual. Baik ia berupa electron maupun seorang filsuf, ia memiliki kutub mental dan fisik.[4]
C. Masalah Koeksistensi Antara Kebebasan dan Ketergantungan Transendental
Di dunia ini adakah pengetahuan yang begitu pasti sehingga tidak seorang pun manusia berakal dapat meragukannya? Pertanyaan ini, yang sekilas tidak terlalu sulit, sebenarnya merupakan pertanyaan paling sulit yang dapat ditanyakan.[5]
Yang dimaksud dengan “ ketergantungan transebdental” ialah ketergantungan dalam hal ADA , yaitu tergantung pada suatu prinsip kreatif, kepada Allah pencipta. Cirri khas sebuah ketergantungan yang bersifat transcendental yaitu cirri “menyeluruh”. Ketergantungan semacam itu mencakup dan meliputi semuanya. Segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, dilingkungi dan dilingkupi oleh suatu penyebab kreatif, yang kausalitasnya bersifat integral.
Filsafat modern mengajukan pertanyaan, apakah kebebasan manusiawi masih mungkin kalau orang menerima bahwa ada Allah yang transenden dan kreatif? Mungkinkah sebuah kebebasan-di-dalam-ketegantungan-total? Mungkinkah bahwa manusia merupakan asal-usul keberadaannya sendiri dan asal-usul pembinaan dirinya, jika ia pada setiap saat secara total tergantung pada suatu penyebab transenden yang menjadi kausalitas transcendental?
1. "God is dead" Movement”
Sejumlah ahli filsafat maupun teologi abad ini, terutama di Amerika Serikat, umumnya ditunjukkan dengan julukan: "God is dead" movement. Pengaruh mereka paling terasa pada tahun enampuluhan abad ini. Termasuk gerakan ini tokoh-tokoh seperti Altizer, Hamilton , Van Buren, Vaughanian. Juga karangan uskup anglikan John A.T. ROBINSON, "Honest to God", yang 20 tahun yang lalu sangat populer, dipengaruhi oleh gerakan "Allah telah mati".
Altizer berpendapat bahwa ide tentang Allah yang. transenden itu harus kita lepaskan seluruhnya. Pendirian ini dipertanggungjawabkannya dengan mengatakan bahwa karena penjelmaan Firman Allah menjadi manusia, maka Allah sendiri telah melepaskan transendensi-Nya. Pada hemat Altizer terdapat perbedaan fundamental antara Allah Perjanjian Lama dengan Allah Perjanjian Baru. Yang permana itu jauh dari manusia, jauh mengatasinya, maka "transenden", tetapi yang terakhir itu tidak lagi demikian: Ia sudah memasuki sejarah umat manusia. Justru demi untuk merasuki sejarah dan untuk menjadi manusia bersama dengan manusia, maka Allah telah meninggalkan kejauhan serta transendensi-Nya. Menurut Altizer, orang baru sungguh-sungguh menerima Penjelmaan apabila memandangnya begitu. Akan tetapi argumentasi teologis ini mempunyai suatu latar belakang filosofis, yaitu keprihatinan supaya kepada eksistensi manusia diberi nilainya yang penuh. Dalam kepenuhannya, keberadaan manusiawi tak dapat diperdamaikan dengan transendensi Allah. Daripada aku menjadi diriku sendiri, sebab Ia membuat pada setiap saat bahwa aku menjadi diriku sendiri.
2. Merleau-Ponty dan Sartre
Dua pemikir Perancis ini: filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre (1905-1980) dan pemikir fenomenologi Maurice Merleau-Ponty (1909-1961) memang jelas berkeyakinan bahwa manusia merupakan makhluk yang bebas, makhluk yang sendiri merupakan prinsip keberadaannya dan yang membangun hidupnya secara otonom. Tapi justru demi kebebasan manusia itu mereka menyangkal adanya Wujud yang mutlak, niscaya dan kreatif. Menurut Sartre dan Merleau-Ponty, keberadaan insani dalam kepadatannya yang penuh, sulit diperdamaikan dengan adanya Wujud yang demikian. Penyebab yang kreatif, niscaya dan absolut itu meniadakan dan menghancurkan aku seluruhnya. Kausalitas yang kreatif itu bersifat menyeluruh dan sebagai "ens necessarium" (ada yang niscaya) Ia meniadakan kontinggensiku, sifat "tak terramalkan" yang ada padaku. Maka kelakuanku tidak, memiliki keaslian lagi. Pun pula Penyebab kreatif itu bersifat mutlak: "ens absolutum", sehingga tidak ada kenisbian apa pun di dalam-Nya. Kalau begitu pengetahuan pun bersifat mutlak, sehingga segala sesuatu telah diketahui. Tidak tinggal sesuatu pun bagiku untuk kucari. Aku hanya menemukan hal-hal yang sudah diketahui.[6]
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan gejala seperti ragu-ragu dan tertegun yang dialami manusia dalam bertindak, kita harus mengatakan bahwa sebuah tindakan insani yang konkret tidak pernah bersifat atau bebas atau determinasi. Gejala tersebut menjadi petunjuk bahwa kebebasan manusia tidak absolute (berlainan dengan pendapat Sartre) dan determinisme pun tidak mutlak (berlainan dengan anggapan kaum determinis). Baik positivitas maupun negativitas yang keduanya menandai eksistensi, tidak boleh dimutlakan. Kedua-duanya terdapat pada manusia secara terjalin dan mengkonstitusi manusia sebagai gerak tradisional.
Gambaran kebebasan yang dimunculkan dalam buku ini ialah kebebasan sebagai kesadaran diri manusia dalam pelaksanaan diri. Memang, secara abstrak dan umum, kebebasan kemauan terletak dalam kemungkinan untuk memilih ini atau itu, baik atau buruk. Akan tetapi secara konkret dan eksistensial, kebebasan ini berkembang menjasi lebih dari pada hanya kemungkinan belaka. Kebebasan tidak hanya berarti bahwa tidak ada halangan lagi dan bahwa jalan terbuka. Kebebasan adalah pelaksanaan diri, Penemuan identitas sendiri dengan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
V. PENUTUP
Demikian yang dapat kami sampaikan. Sedikit banyak semoga bisa menambah wawasan keilmuan kita. Kurang lebihnya mohon maaf, kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan makalah kami.
Wallahulmuwaffiq ila aqwamitthoriq
DAFTAR PUSTAKA
Bertrand Russel, Persoalan-Persoalan Di Bidang Filsafat, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 2002
Dr. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta , 1993
Dennis Wrong (Ed.), Max Wiber, Sebuah Hasanah, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 2003
Hector Hawton, Filsafat Yang Menghibur, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 2003
[1] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta , 1993, hlm 40
[2] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Ibid, hlm 51
[3] Dennis Wrong (Ed.), Max Wiber, Sebuah Hasanah, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 203, hlm 120
[4] Hector Hawton, Filsafat Yang Menghibur, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 2003, hlm 204
[5] Bertrand Russel, Persoalan-Persoalan Di Bidang Filsafat, Ikon Teralitera, Yogyakarta , 200, hlm 01
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal
0 comments:
Post a Comment