AGAMA DALAM BATAS IMAN SAJA
(Persembahan Untuk Nurcholish Madjid, Yang Selalu Membela Iman Di
Atas Agama Dan Rasionalitas)
Oleh: Luthfi Assyaukanie
(Persembahan Untuk Nurcholish Madjid, Yang Selalu Membela Iman Di
Atas Agama Dan Rasionalitas)
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Sebelum William James (1842-1910) menuliskan bukunya yang terkenal, The Varieties of Religious Experience, pengalaman personal keagamaan seseorang tak pernah dianggap sebagai argumen penting pembuktian adanya Tuhan. Para filsuf sejak Aristoteles hingga Immanuel Kant lebih sering menggunakan argumen-argumen rasional dalam membuktikan keberadaan Tuhan.
Ada tiga argumen penting yang mendominasi wacana filsafat tentang keberadaan Tuhan, yakni argumen kosmologi, argumen ontologi, dan argumen teleologi.
Argumen kosmologi menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada sebabnya. Alam raya pasti memiliki sebab akan keberadaannya, dan sebab itu adalah Tuhan. Argumen ontologi berangkat dari pandangan bahwa Tuhan adalah zat yang sempurna, dan salah satu sifat
kesempurnaan adalah ada, dengan demikian Tuhan ada. Argumen teleologi berangkat dari penelusuran manusia terhadap keteraturan di dunia. Jika ditelusuri terus, keteraturan mestilah bersumber pada sesuatu (zat) yang membuatnya menjadi demikian, sesuatu (zat) itu
adalah Tuhan.
Argumen pengalaman keagamaan hampir tak pernah disebut di antara daftar argumen yang jumlahnya begitu banyak itu. Hal itu karena pengalaman keagamaan dianggap sebagai pengalaman subyektif yang tak bisa diverifikasi secara logis dan rasional. Di masa silam, khususnya pada abad pertengahan, argumen yang mendominasi wacana filsafat agama adalah argumen rasional yang sepenuhnya berpijak pada analisis logis. Argumen kosmologi, misalnya, berangkat dari penalaran logika murni terhadap hukum sebab-akibat. Segala sesuatu ada karena ada yang menciptakan; alam raya ada karena ia diciptakan; dan pencipta itu adalah Tuhan.
Argumen-argumen rasional tentang keberadaan Tuhan mendapatkan kritik dan dukungan dari para filsuf. Hingga kini tak ada sebuah penjelasan yang benar-benar meyakinkan yang dapat secara konklusif mendukung atau meruntuhkan argumen-argumen semacam itu. Setiap ada filsuf yang mencoba mencari penjelasan baru untuk mendukung argumen tersebut, selalu ada filsuf lain yang mengkritiknya. Dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Di pihak lain, argumen empiris tentang keberadaan Tuhan yang lebih dikenal dengan "pengalaman keagamaan" tak banyak menarik perhatian para filsuf karena argumen semacam itu lebih banyak dijumpai di kalangan awam. Argumen itu dianggap tak semena-mena karena berangkat dari pengalaman subyektifitas seseorang. Pengalaman subyektif adalah sesuatu yang tak bias diverifikasi dan karenanya tak bisa dijadikan landasan untuk membangun sebuah pengetahuan yang obyektif.
Seseorang yang mengatakan "saya yakin Tuhan ada karena saya merasakannya" tak memiliki nilai kebenaran logis. Pertama karena pernyataan itu bersifat sirkular, yakni konklusi dari pernyataan itu telah termuat dalam premisnya. Pernyataan ini sama saja dengan seseorang yang mengatakan: "Tuhan ada karena Al Quran mengatakan demikian, dan Al Quran benar karena Tuhan menjamin akan kebenarannya". Argumen-argumen semacam ini tak memiliki kegunaan dalam membangun kebenaran filosofis.
Bahkan ketika seseorang pendukung argumen "pengalaman keagamaan" mengatakan, misalnya, "ini bukan pengalaman saya sendiri, tapi ada jutaan umat manusia di dunia ini memiliki pengalaman serupa dengan saya", secara logis pernyataan ini tak banyak membantu karena ujung-ujungnya merupakan argumen tentang keberadaan manusia dan bukan Tuhan: ia berbicara tentang jumlah manusia yang banyak itu dan bukan mengungkapkan keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, argumen itu adalah tentang "keyakinan" dan bukan "keberadaan". Kebenaran bukanlah sesuatu yang diukur berdasarkan banyak-sedikitnya orang: kita tak bisa mem-voting kebenaran.
Alasan lain dari lemahnya argumen itu adalah bahwa pengalaman personal keagamaan sangat bergantung pada unsur sosial-budaya yang memengaruhi kehidupan seseorang. Seorang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat misalnya tak mungkin memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda atau apalagi bertolak belakang dari apa yang tumbuh dalam dirinya. Misalnya, hampir mustahil bahwa ia memiliki pengalaman tentang Yesus atau Sidharta yang datang kepadanya. Kerap kali yang menjadi pengalaman keagamaannya adalah imajinasi-imajinasi
yang dibentuk berdasarkan lingkungan sosial-budayanya.
Begitu juga seorang pemeluk Kristen, hampir mustahil memiliki pengalaman keberagamaan yang melibatkan Tuhan di luar konsep ketuhanan yang dimilikinya. Dengan kata lain, pengalaman keberagamaan seseorang adalah bentukan dari lingkungan di mana dia hidup.
William James bukan tak mengetahui akan kritik-kritik tajam terhadap argumen "pengalaman keagamaan" seperti di atas. Dia sepenuhnya memahami bahwa argumen-argumen itu cukup valid. Karenanya, James tak tertarik membela diri. Baginya, baik argumen rasional maupun argument empiris tentang keberadaan Tuhan sama problematisnya. Kedua-duanya tak kebal terhadap kritik. Kendati demikian, James menganggap bahwa pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang orisinal, sesuatu yang alami, yang tumbuh dalam diri manusia.
Dengan pernyataan itu, James tidak hendak menegaskan argumen keberadaan Tuhan karena baginya pertanyaan yang terpenting bukanlah "apakah Tuhan ada?", tapi "apakah saya beriman pada Tuhan?" Kita meyakini Tuhan bukan karena secara rasional atau empiris ia bisa dibuktikan, tapi karena kita merasakan keberadaannya. Problem manusia berhadapan dengan Tuhan bukanlah problem ontologis, tapi problem epistemologis.
Pandangan James tentang keterbatasan akal pikiran dalam membuktikan keberadaan Tuhan tentu saja dipengaruhi sangat kuat oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman yang menguraikan hubungan agama dan akal dalam traktatnya yang terkenal, Religion Within the Limits of Reason Alone. Dalam karya ini yang juga dijelaskannya dalam dua karya pentingnya yang lain, The Critique of Pure Reason dan Prolegomena to Any Future Metaphysics, Kant menutup seluruh diskusi tentang keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa akal pikiran manusia punya keterbatasan.
Akal manusia tidak mungkin sampai pada pengetahuan fundamental tentang struktur realitas (pengetahuan metafisika). Hal ini karena manusia tak dapat mengetahui sesuatu di luar pengalaman sensorisnya.
Kant memperkenalkan dua istilah yang sangat terkenal, yakni phenomena dan noumena. Phenomena adalah segala sesuatu yang tampak dan bisa kita persepsi dengan indera kita; noumena adalah realitas yang tak bisa dipersepsi. Dalam bahasa Jerman, ia disebut ding an sich atau sesuatu dalam dirinya sendiri. Noumena adalah realitas yang tak diketahui, tak bisa digambarkan, dan tak bisa dicapai.
Pengetahuan kita tentang Tuhan dan persoalan-persoalan metafisika lainnya masuk ke dalam wilayah noumena yang tak tersentuh itu. (Kant, Critique of Pure Reason, 1982: 266).
Ulasan James yang begitu meyakinkan tentang pengalaman keberagamaan banyak dipakai, baik oleh penentang maupun pendukungnya. Kaum ateis dan penentang argumen keberadaan Tuhan misalnya menganggap penemuan James sebagai bukti bahwa agama bukanlah sebuah sistem kebenaran yang datang dari luar diri manusia (dari Tuhan), tapi merupakan implikasi dari pengalaman psikologisnya. (Michael Martin, Atheism, Morality, and Meaning, 2002). Sementara bagi kaum beriman, temuan James dijadikan landasan untuk memperkaya argumen keberadaan Tuhan.
Pandangan James tentang potensi jiwa manusia untuk selalu memiliki pengalaman keberagamaan dijadikan landasan untuk mendukung pandangan kaum agamawan tentang konsep "fitrah" (kesucian alami) dan kerinduan manusia akan Tuhan.
Salah satu penulis yang menggunakan argumen James untuk membuktikan adanya Tuhan adalah Richard Swinburne (lahir: 1934), filsuf Kristen lulusan Universitas Oxford. Swinburne banyak menulis buku penting dan disebut-sebut sebagai orang yang turut mengubah paradigma studi
agama-agama. Dia menulis banyak buku, tapi triloginya—The Coherence of Theism, The Existence of God, dan Faith and Reason—serta sebuah buku yang ia tulis belakangan, Is There A God? dianggap sebagai karya terpentingnya. Dalam keempat karya inilah Swinburne banyak mendiskusikan pengalaman keagamaan sebagai argumen tentang keberadaan Tuhan
Salah satu teori yang dikembangkan Swinburne menyangkut argument pengalaman keagamaan adalah "prinsip kepercayaan" (principle of credulity). Prinsip ini mengatakan bahwa jika kita meyakini bahwa sesuatu itu ada, maka sesuatu itu harus dianggap ada. Umumnya, kata Swinburne, masuk akal memercayai dunia sebagai sebuah kemungkinan tempat kita merasakan keberadaannya. Kecuali kita punya alasan yang sangat khusus mempertanyakan pengalaman keberagamaan seseorang, maka kita harus menerima bahwa secara prima facie, hal itu merupakan bukti akan keberadaan Tuhan. (Swinburne, The Existence of God, 1994: 303-310).
Bagi Swinburne, penuturan seseorang akan pengalaman pribadinya haruslah disikapi secara nyata (veridical) karena pengalaman sebagai sesuatu yang empiris tak hanya mencakup konsep "keimanan" tapi juga konsep tentang "keberadaan." Jika seseorang memproklamasikan diri akan pengalamannya, maka ia tak hanya menceritakan keyakinannya akan pengalaman itu, tapi juga sedang menceritakan tentang sesuatu yang ada.
Seperti saya katakan di atas, tak ada argumen tentang keberadaan Tuhan yang secara konklusif bisa diterima atau ditolak. Argumen Swinburne juga tak kebal dari kritik. Puluhan artikel dan buku ditulis untuk mengkritik kelemahan-kelemahan argumen filsuf Inggris itu. Salah seorang yang banyak melakukan kritik terhadap Swinburne adalah Michael Martin, guru besar filsafat asal Universitas Boston. Martin dikenal sebagai pembela setia ateisme dan menolak seluruh
argumen tentang keberadaan Tuhan.
Dalam karya pentingnya, Atheism: A Philosophical Justification (1990: 169-174), Martin menolak prinsip kepercayaan yang digagas Swinburne. Baginya, prinsip ini bisa digunakan untuk membuktikan argumen terbalik. Misalnya, dengan menggunakan prinsip itu, seseorang ateis yang memiliki pengalaman personal tentang absennya Tuhan dapat berargumen bahwa pengalaman pribadinya adalah sesuatu yang nyata dan harus dianggap demikian.
Argumen Martin ini disanggah oleh Swinsburne sendiri dalam edisi revisi bukunya, The Existence of God. Namun, seperti pada perdebatan-perdebatan rasional tentang keberadaan Tuhan, ia tak berhenti sampai di situ. Ada sarjana-sarjana lain yang mengomentari dan menolak rejoinder Swinburne, dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Psikologi Iman
Argumen empiris tentang keberadaan Tuhan (lebih tepatnya persepsi tentang keberadaan Tuhan) ketika ia ditransformasikan menjadi argumen rasional, seperti yang dilakukan Swinburne, kembali menjadi ajang perdebatan. Selama akal pikiran diberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal yang noumena, maka tak ada kata akhir untuk menyudahi perdebatan semacam itu.
Karena itu, para psikolog besar seperti William James dan juga Sigmund Freud (1856-1939) tidak pernah tertarik dengan perdebatan spekulatif semacam itu. Mereka lebih suka menjelaskan fenomena keagamaan apa adanya, seperti yang mereka lihat (yang kemudian banyak memunculkan studi fenomenologis terhadap agama-agama). Freud, misalnya, mengkaji fenomena agama sebagai perilaku kejiwaan manusia. Dalam tiga karya pentingnya, Totem and Taboo, The Future of an Illusion, dan Moses and Monotheism, psikolog raksasa ini menyikapi agama dan fenomena keagamaan sebagai sebuah gejala nurosis dalam diri manusia.
Freud memiliki banyak teori tentang agama dan fenomena keagamaan. Lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan untuk meneliti tentang masalah ini. Tak hanya mengamati ritus dan kegiatan keagamaan
berbagai kelompok agama, Freud juga rajin mengumpulkan barang-barang dan pernik yang kerap digunakan dan diagungkan para pemeluk agama, dari patung, lukisan, salib, hingga tasbih. Dengan mengamati seluruh fenomena keagamaan ini, Freud menyimpulkan bahwa agama adalah
respons manusia terhadap situasi ketakberdayaan mereka dalam menghadapi dunia yang tak dapat mereka kontrol.
Bencana alam seperti gempa, gunung meletus, ombak besar (tsunami), hingga kematian massal adalah fenomena kekejaman alam di mana manusia tak berdaya menghadapinya. Seperti anak kecil yang mengharapkan perlindungan dari orangtuanya, menghadapi situasi semacam ini, manusia, kata Freud, juga berharap akan figur orangtua (bapak) yang bisa melindunginya. Ia menyebutnya sebagai nurosis masa kecil. (Freud, The Future of an Illusion, 1953: 75).
Seluruh pengalaman keagamaan manusia, menurut Freud, adalah refleksi terhadap ketakutan yang berlebihan. Pada tingkatnya yang intens, obsesi ini memunculkan kreativitas manusia untuk menciptakan figur "bapak spiritual" (heavenly father) yang selalu diharapkan bisa menjadi pelindungnya. Dalam paradigma Kristen, bapak spiritual ini disebut Yesus atau Tuhan. Bagi Freud, konsep akhirat (kehidupan setelah mati), juga merupakan implikasi dari faktor ketakutan yang
obsesif. Ia bisa dipahami sebagai konsep yang berfungsi untuk mengurangi ketakutan manusia terhadap kematian. Jika ada kehidupan setelah mati, mengapa kita mesti takut mati?
James berangkat dari asumsi yang sama dengan Freud dalam memahami fenomena keagamaan manusia. Hanya saja, berbeda dengan Freud, James melihat gejala kejiwaan agama manusia secara positif. Baginya, pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang unik dan merupakan kondisi alami bagi manusia yang normal. "Seluruh manusia yang normal," tulis James, "pasti memiliki pengalaman keagamaan." Begitu seringnya pengalaman keagamaan pada diri manusia, James mengusulkan agar fenomena ini disikapi sebagai sesuatu kenyataan yang real.
Baginya, tidak penting apakah sebuah agama harus memiliki nama atau institusi karena yang terpenting adalah "perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman setiap individu manusia dalam kesendiriannya, khususnya ketika dia memahami dirinya berhadapan
dengan apa saja yang dia anggap agung". (James, The Varieties of Religious Experience, 1929: 31-32). Dengan kata lain, identitas formal agama-agama seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha
tidaklah penting. Pengalaman-pengalaman spiritual setiap pemeluk agama, bagi James, lebih penting dan bermakna ketimbang pendakuan-pendakuan mereka tentang identitas formal yang mereka miliki.
Dengan sikap seperti itu, James tak terlalu peduli dengan konsep-konsep keagamaan yang dikembangkan dalam wacana filsafat dan teologi seperti Tuhan, nabi, kitab suci, wahyu, dan lainnya. Ia misalnya tak terlalu menganggap penting apakah keyakinan kita kepada Tuhan harus didasari pengetahuan kita akan keberadaan-Nya. Baginya, akal dan iman adalah dua hal terpisah yang tak mesti punya korelasi.Iman kaum Fideis
Dalam kajian filsafat, sikap James itu disebut "fideisme" (fideism), berasal dari kata Latin, fides yang berarti iman. Seorang fideis tak terlalu peduli apakah imannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional karena baginya akal sama sekali tak relevan ketika
seseorang berbicara tentang iman. Bagi James, pengalaman spiritual seseorang lebih penting ketimbang pengakuannya tentang identitas agamanya atau pengakuannya tentang keberadaan Tuhan. Seperti kaum fideis lainnya, James meletakkan iman berada di atas akal.
Para filsuf fideis seperti Blaise Pascal (1623-1662), Soren Kierkegaard (1813-1855), dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menganggap bahwa keberagamaan seseorang bukan didasarkan pada pengetahuan terhadap fakta-fakta obyektif, tapi pada "lompatan iman" (leap of faith) yang dibentuk dari rangkaian pengalaman hidupnya. Bagi Kierkegaard, iman memiliki kepastian absolut yang berdiri sendiri. Karenanya, seorang yang beriman tak memerlukan penjelasan
rasional mengapa dia memilih jalan itu. Dalam bukunya, Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard memberikan tiga argumen mengapa akal dan iman tak mesti saling bertemu dalam urusan beragama.
Pertama, "argumen kira-kira" (approximation argument). Argumen ini menyatakan bahwa setiap argumen metafisis tak ada yang memberikan bukti secara benar-benar pasti. Seberapa pun canggihnya sebuah argumen, selalu ada kemungkinan penyalahtafsiran bukti-bukti atau
kesalahan ketika melakukan analisis terhadap bukti-bukti itu. Sementara itu, iman membutuhkan kepastian absolut. Namun, jika kepastian absolut tak bisa dicapai lewat argumen rasional, maka iman
juga tak bisa dicapai dengan cara ini. Kesimpulannya, iman haruslah melampaui semua bukti-bukti rasional.
Kedua, "argumen penundaan" (postponement argument). Argumen ini berangkat dari asumsi bahwa sains adalah sebuah kebenaran sementara, di mana selalu ada kemungkinan bahwa data-data baru akan menggugurkan penemuan yang lama. Jika kita menyerahkan keyakinan kita pada penemuan sains, artinya kita harus menunggu hingga waktu tak tentu sampai semua data terkumpul. Tentu saja, bukan hanya karena semua data sulit dikumpulkan, tapi umur kita terbatas. Jika kita mau mencapai kepastian absolut, maka sains jelas tak bisa memberikannya.
Ketiga, "argumen hasrat" (passion argument). Argumen ini menekankan pentingnya komitmen keimanan seseorang. Setiap iman melibatkan risiko; semakin besar risiko semakin baik bagi iman. Jika kita memiliki bukti konklusif tentang adanya Tuhan, maka iman menjadi tak
menarik lagi karena tak ada unsur risiko di dalamnya. Hanya dan hanya jika bukti-bukti yang kita miliki tidak lengkap dan hanya jika ada risiko, maka iman kita menjadi sesuatu yang berharga. Iman yang menolak bukti-bukti rasional adalah iman yang paling penuh risiko, dan itulah iman yang paling berharga. Sebaliknya, iman yang menuntut adanya bukti-bukti rasional adalah iman yang kurang berharga.
Kaum fideis menganggap independensi iman sebagai sesuatu yang penting, bukan hanya untuk membebaskannya dari kungkungan rasionalitas, tapi juga untuk membebaskannya dari ikatan-ikatan keagamaan formal. Bagi pemeluk fideis (yang konsisten maupun separuh-separuh), pengalaman spiritualitas melampaui identitas agama dan melampui doktrin-doktrin yang diajarkan oleh institusi agama formal. Kedekatan dengan Tuhan atau perjumpaan dengan sesuatu yang agung
tidak mesti harus lewat cara-cara yang digariskan agama tertentu.
Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam
persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.
Ada tiga argumen penting yang mendominasi wacana filsafat tentang keberadaan Tuhan, yakni argumen kosmologi, argumen ontologi, dan argumen teleologi.
Argumen kosmologi menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada sebabnya. Alam raya pasti memiliki sebab akan keberadaannya, dan sebab itu adalah Tuhan. Argumen ontologi berangkat dari pandangan bahwa Tuhan adalah zat yang sempurna, dan salah satu sifat
kesempurnaan adalah ada, dengan demikian Tuhan ada. Argumen teleologi berangkat dari penelusuran manusia terhadap keteraturan di dunia. Jika ditelusuri terus, keteraturan mestilah bersumber pada sesuatu (zat) yang membuatnya menjadi demikian, sesuatu (zat) itu
adalah Tuhan.
Argumen pengalaman keagamaan hampir tak pernah disebut di antara daftar argumen yang jumlahnya begitu banyak itu. Hal itu karena pengalaman keagamaan dianggap sebagai pengalaman subyektif yang tak bisa diverifikasi secara logis dan rasional. Di masa silam, khususnya pada abad pertengahan, argumen yang mendominasi wacana filsafat agama adalah argumen rasional yang sepenuhnya berpijak pada analisis logis. Argumen kosmologi, misalnya, berangkat dari penalaran logika murni terhadap hukum sebab-akibat. Segala sesuatu ada karena ada yang menciptakan; alam raya ada karena ia diciptakan; dan pencipta itu adalah Tuhan.
Argumen-argumen rasional tentang keberadaan Tuhan mendapatkan kritik dan dukungan dari para filsuf. Hingga kini tak ada sebuah penjelasan yang benar-benar meyakinkan yang dapat secara konklusif mendukung atau meruntuhkan argumen-argumen semacam itu. Setiap ada filsuf yang mencoba mencari penjelasan baru untuk mendukung argumen tersebut, selalu ada filsuf lain yang mengkritiknya. Dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Di pihak lain, argumen empiris tentang keberadaan Tuhan yang lebih dikenal dengan "pengalaman keagamaan" tak banyak menarik perhatian para filsuf karena argumen semacam itu lebih banyak dijumpai di kalangan awam. Argumen itu dianggap tak semena-mena karena berangkat dari pengalaman subyektifitas seseorang. Pengalaman subyektif adalah sesuatu yang tak bias diverifikasi dan karenanya tak bisa dijadikan landasan untuk membangun sebuah pengetahuan yang obyektif.
Seseorang yang mengatakan "saya yakin Tuhan ada karena saya merasakannya" tak memiliki nilai kebenaran logis. Pertama karena pernyataan itu bersifat sirkular, yakni konklusi dari pernyataan itu telah termuat dalam premisnya. Pernyataan ini sama saja dengan seseorang yang mengatakan: "Tuhan ada karena Al Quran mengatakan demikian, dan Al Quran benar karena Tuhan menjamin akan kebenarannya". Argumen-argumen semacam ini tak memiliki kegunaan dalam membangun kebenaran filosofis.
Bahkan ketika seseorang pendukung argumen "pengalaman keagamaan" mengatakan, misalnya, "ini bukan pengalaman saya sendiri, tapi ada jutaan umat manusia di dunia ini memiliki pengalaman serupa dengan saya", secara logis pernyataan ini tak banyak membantu karena ujung-ujungnya merupakan argumen tentang keberadaan manusia dan bukan Tuhan: ia berbicara tentang jumlah manusia yang banyak itu dan bukan mengungkapkan keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, argumen itu adalah tentang "keyakinan" dan bukan "keberadaan". Kebenaran bukanlah sesuatu yang diukur berdasarkan banyak-sedikitnya orang: kita tak bisa mem-voting kebenaran.
Alasan lain dari lemahnya argumen itu adalah bahwa pengalaman personal keagamaan sangat bergantung pada unsur sosial-budaya yang memengaruhi kehidupan seseorang. Seorang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat misalnya tak mungkin memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda atau apalagi bertolak belakang dari apa yang tumbuh dalam dirinya. Misalnya, hampir mustahil bahwa ia memiliki pengalaman tentang Yesus atau Sidharta yang datang kepadanya. Kerap kali yang menjadi pengalaman keagamaannya adalah imajinasi-imajinasi
yang dibentuk berdasarkan lingkungan sosial-budayanya.
Begitu juga seorang pemeluk Kristen, hampir mustahil memiliki pengalaman keberagamaan yang melibatkan Tuhan di luar konsep ketuhanan yang dimilikinya. Dengan kata lain, pengalaman keberagamaan seseorang adalah bentukan dari lingkungan di mana dia hidup.
William James bukan tak mengetahui akan kritik-kritik tajam terhadap argumen "pengalaman keagamaan" seperti di atas. Dia sepenuhnya memahami bahwa argumen-argumen itu cukup valid. Karenanya, James tak tertarik membela diri. Baginya, baik argumen rasional maupun argument empiris tentang keberadaan Tuhan sama problematisnya. Kedua-duanya tak kebal terhadap kritik. Kendati demikian, James menganggap bahwa pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang orisinal, sesuatu yang alami, yang tumbuh dalam diri manusia.
Dengan pernyataan itu, James tidak hendak menegaskan argumen keberadaan Tuhan karena baginya pertanyaan yang terpenting bukanlah "apakah Tuhan ada?", tapi "apakah saya beriman pada Tuhan?" Kita meyakini Tuhan bukan karena secara rasional atau empiris ia bisa dibuktikan, tapi karena kita merasakan keberadaannya. Problem manusia berhadapan dengan Tuhan bukanlah problem ontologis, tapi problem epistemologis.
Pandangan James tentang keterbatasan akal pikiran dalam membuktikan keberadaan Tuhan tentu saja dipengaruhi sangat kuat oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman yang menguraikan hubungan agama dan akal dalam traktatnya yang terkenal, Religion Within the Limits of Reason Alone. Dalam karya ini yang juga dijelaskannya dalam dua karya pentingnya yang lain, The Critique of Pure Reason dan Prolegomena to Any Future Metaphysics, Kant menutup seluruh diskusi tentang keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa akal pikiran manusia punya keterbatasan.
Akal manusia tidak mungkin sampai pada pengetahuan fundamental tentang struktur realitas (pengetahuan metafisika). Hal ini karena manusia tak dapat mengetahui sesuatu di luar pengalaman sensorisnya.
Kant memperkenalkan dua istilah yang sangat terkenal, yakni phenomena dan noumena. Phenomena adalah segala sesuatu yang tampak dan bisa kita persepsi dengan indera kita; noumena adalah realitas yang tak bisa dipersepsi. Dalam bahasa Jerman, ia disebut ding an sich atau sesuatu dalam dirinya sendiri. Noumena adalah realitas yang tak diketahui, tak bisa digambarkan, dan tak bisa dicapai.
Pengetahuan kita tentang Tuhan dan persoalan-persoalan metafisika lainnya masuk ke dalam wilayah noumena yang tak tersentuh itu. (Kant, Critique of Pure Reason, 1982: 266).
Ulasan James yang begitu meyakinkan tentang pengalaman keberagamaan banyak dipakai, baik oleh penentang maupun pendukungnya. Kaum ateis dan penentang argumen keberadaan Tuhan misalnya menganggap penemuan James sebagai bukti bahwa agama bukanlah sebuah sistem kebenaran yang datang dari luar diri manusia (dari Tuhan), tapi merupakan implikasi dari pengalaman psikologisnya. (Michael Martin, Atheism, Morality, and Meaning, 2002). Sementara bagi kaum beriman, temuan James dijadikan landasan untuk memperkaya argumen keberadaan Tuhan.
Pandangan James tentang potensi jiwa manusia untuk selalu memiliki pengalaman keberagamaan dijadikan landasan untuk mendukung pandangan kaum agamawan tentang konsep "fitrah" (kesucian alami) dan kerinduan manusia akan Tuhan.
Salah satu penulis yang menggunakan argumen James untuk membuktikan adanya Tuhan adalah Richard Swinburne (lahir: 1934), filsuf Kristen lulusan Universitas Oxford. Swinburne banyak menulis buku penting dan disebut-sebut sebagai orang yang turut mengubah paradigma studi
agama-agama. Dia menulis banyak buku, tapi triloginya—The Coherence of Theism, The Existence of God, dan Faith and Reason—serta sebuah buku yang ia tulis belakangan, Is There A God? dianggap sebagai karya terpentingnya. Dalam keempat karya inilah Swinburne banyak mendiskusikan pengalaman keagamaan sebagai argumen tentang keberadaan Tuhan
Salah satu teori yang dikembangkan Swinburne menyangkut argument pengalaman keagamaan adalah "prinsip kepercayaan" (principle of credulity). Prinsip ini mengatakan bahwa jika kita meyakini bahwa sesuatu itu ada, maka sesuatu itu harus dianggap ada. Umumnya, kata Swinburne, masuk akal memercayai dunia sebagai sebuah kemungkinan tempat kita merasakan keberadaannya. Kecuali kita punya alasan yang sangat khusus mempertanyakan pengalaman keberagamaan seseorang, maka kita harus menerima bahwa secara prima facie, hal itu merupakan bukti akan keberadaan Tuhan. (Swinburne, The Existence of God, 1994: 303-310).
Bagi Swinburne, penuturan seseorang akan pengalaman pribadinya haruslah disikapi secara nyata (veridical) karena pengalaman sebagai sesuatu yang empiris tak hanya mencakup konsep "keimanan" tapi juga konsep tentang "keberadaan." Jika seseorang memproklamasikan diri akan pengalamannya, maka ia tak hanya menceritakan keyakinannya akan pengalaman itu, tapi juga sedang menceritakan tentang sesuatu yang ada.
Seperti saya katakan di atas, tak ada argumen tentang keberadaan Tuhan yang secara konklusif bisa diterima atau ditolak. Argumen Swinburne juga tak kebal dari kritik. Puluhan artikel dan buku ditulis untuk mengkritik kelemahan-kelemahan argumen filsuf Inggris itu. Salah seorang yang banyak melakukan kritik terhadap Swinburne adalah Michael Martin, guru besar filsafat asal Universitas Boston. Martin dikenal sebagai pembela setia ateisme dan menolak seluruh
argumen tentang keberadaan Tuhan.
Dalam karya pentingnya, Atheism: A Philosophical Justification (1990: 169-174), Martin menolak prinsip kepercayaan yang digagas Swinburne. Baginya, prinsip ini bisa digunakan untuk membuktikan argumen terbalik. Misalnya, dengan menggunakan prinsip itu, seseorang ateis yang memiliki pengalaman personal tentang absennya Tuhan dapat berargumen bahwa pengalaman pribadinya adalah sesuatu yang nyata dan harus dianggap demikian.
Argumen Martin ini disanggah oleh Swinsburne sendiri dalam edisi revisi bukunya, The Existence of God. Namun, seperti pada perdebatan-perdebatan rasional tentang keberadaan Tuhan, ia tak berhenti sampai di situ. Ada sarjana-sarjana lain yang mengomentari dan menolak rejoinder Swinburne, dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Psikologi Iman
Argumen empiris tentang keberadaan Tuhan (lebih tepatnya persepsi tentang keberadaan Tuhan) ketika ia ditransformasikan menjadi argumen rasional, seperti yang dilakukan Swinburne, kembali menjadi ajang perdebatan. Selama akal pikiran diberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal yang noumena, maka tak ada kata akhir untuk menyudahi perdebatan semacam itu.
Karena itu, para psikolog besar seperti William James dan juga Sigmund Freud (1856-1939) tidak pernah tertarik dengan perdebatan spekulatif semacam itu. Mereka lebih suka menjelaskan fenomena keagamaan apa adanya, seperti yang mereka lihat (yang kemudian banyak memunculkan studi fenomenologis terhadap agama-agama). Freud, misalnya, mengkaji fenomena agama sebagai perilaku kejiwaan manusia. Dalam tiga karya pentingnya, Totem and Taboo, The Future of an Illusion, dan Moses and Monotheism, psikolog raksasa ini menyikapi agama dan fenomena keagamaan sebagai sebuah gejala nurosis dalam diri manusia.
Freud memiliki banyak teori tentang agama dan fenomena keagamaan. Lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan untuk meneliti tentang masalah ini. Tak hanya mengamati ritus dan kegiatan keagamaan
berbagai kelompok agama, Freud juga rajin mengumpulkan barang-barang dan pernik yang kerap digunakan dan diagungkan para pemeluk agama, dari patung, lukisan, salib, hingga tasbih. Dengan mengamati seluruh fenomena keagamaan ini, Freud menyimpulkan bahwa agama adalah
respons manusia terhadap situasi ketakberdayaan mereka dalam menghadapi dunia yang tak dapat mereka kontrol.
Bencana alam seperti gempa, gunung meletus, ombak besar (tsunami), hingga kematian massal adalah fenomena kekejaman alam di mana manusia tak berdaya menghadapinya. Seperti anak kecil yang mengharapkan perlindungan dari orangtuanya, menghadapi situasi semacam ini, manusia, kata Freud, juga berharap akan figur orangtua (bapak) yang bisa melindunginya. Ia menyebutnya sebagai nurosis masa kecil. (Freud, The Future of an Illusion, 1953: 75).
Seluruh pengalaman keagamaan manusia, menurut Freud, adalah refleksi terhadap ketakutan yang berlebihan. Pada tingkatnya yang intens, obsesi ini memunculkan kreativitas manusia untuk menciptakan figur "bapak spiritual" (heavenly father) yang selalu diharapkan bisa menjadi pelindungnya. Dalam paradigma Kristen, bapak spiritual ini disebut Yesus atau Tuhan. Bagi Freud, konsep akhirat (kehidupan setelah mati), juga merupakan implikasi dari faktor ketakutan yang
obsesif. Ia bisa dipahami sebagai konsep yang berfungsi untuk mengurangi ketakutan manusia terhadap kematian. Jika ada kehidupan setelah mati, mengapa kita mesti takut mati?
James berangkat dari asumsi yang sama dengan Freud dalam memahami fenomena keagamaan manusia. Hanya saja, berbeda dengan Freud, James melihat gejala kejiwaan agama manusia secara positif. Baginya, pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang unik dan merupakan kondisi alami bagi manusia yang normal. "Seluruh manusia yang normal," tulis James, "pasti memiliki pengalaman keagamaan." Begitu seringnya pengalaman keagamaan pada diri manusia, James mengusulkan agar fenomena ini disikapi sebagai sesuatu kenyataan yang real.
Baginya, tidak penting apakah sebuah agama harus memiliki nama atau institusi karena yang terpenting adalah "perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman setiap individu manusia dalam kesendiriannya, khususnya ketika dia memahami dirinya berhadapan
dengan apa saja yang dia anggap agung". (James, The Varieties of Religious Experience, 1929: 31-32). Dengan kata lain, identitas formal agama-agama seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha
tidaklah penting. Pengalaman-pengalaman spiritual setiap pemeluk agama, bagi James, lebih penting dan bermakna ketimbang pendakuan-pendakuan mereka tentang identitas formal yang mereka miliki.
Dengan sikap seperti itu, James tak terlalu peduli dengan konsep-konsep keagamaan yang dikembangkan dalam wacana filsafat dan teologi seperti Tuhan, nabi, kitab suci, wahyu, dan lainnya. Ia misalnya tak terlalu menganggap penting apakah keyakinan kita kepada Tuhan harus didasari pengetahuan kita akan keberadaan-Nya. Baginya, akal dan iman adalah dua hal terpisah yang tak mesti punya korelasi.Iman kaum Fideis
Dalam kajian filsafat, sikap James itu disebut "fideisme" (fideism), berasal dari kata Latin, fides yang berarti iman. Seorang fideis tak terlalu peduli apakah imannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional karena baginya akal sama sekali tak relevan ketika
seseorang berbicara tentang iman. Bagi James, pengalaman spiritual seseorang lebih penting ketimbang pengakuannya tentang identitas agamanya atau pengakuannya tentang keberadaan Tuhan. Seperti kaum fideis lainnya, James meletakkan iman berada di atas akal.
Para filsuf fideis seperti Blaise Pascal (1623-1662), Soren Kierkegaard (1813-1855), dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menganggap bahwa keberagamaan seseorang bukan didasarkan pada pengetahuan terhadap fakta-fakta obyektif, tapi pada "lompatan iman" (leap of faith) yang dibentuk dari rangkaian pengalaman hidupnya. Bagi Kierkegaard, iman memiliki kepastian absolut yang berdiri sendiri. Karenanya, seorang yang beriman tak memerlukan penjelasan
rasional mengapa dia memilih jalan itu. Dalam bukunya, Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard memberikan tiga argumen mengapa akal dan iman tak mesti saling bertemu dalam urusan beragama.
Pertama, "argumen kira-kira" (approximation argument). Argumen ini menyatakan bahwa setiap argumen metafisis tak ada yang memberikan bukti secara benar-benar pasti. Seberapa pun canggihnya sebuah argumen, selalu ada kemungkinan penyalahtafsiran bukti-bukti atau
kesalahan ketika melakukan analisis terhadap bukti-bukti itu. Sementara itu, iman membutuhkan kepastian absolut. Namun, jika kepastian absolut tak bisa dicapai lewat argumen rasional, maka iman
juga tak bisa dicapai dengan cara ini. Kesimpulannya, iman haruslah melampaui semua bukti-bukti rasional.
Kedua, "argumen penundaan" (postponement argument). Argumen ini berangkat dari asumsi bahwa sains adalah sebuah kebenaran sementara, di mana selalu ada kemungkinan bahwa data-data baru akan menggugurkan penemuan yang lama. Jika kita menyerahkan keyakinan kita pada penemuan sains, artinya kita harus menunggu hingga waktu tak tentu sampai semua data terkumpul. Tentu saja, bukan hanya karena semua data sulit dikumpulkan, tapi umur kita terbatas. Jika kita mau mencapai kepastian absolut, maka sains jelas tak bisa memberikannya.
Ketiga, "argumen hasrat" (passion argument). Argumen ini menekankan pentingnya komitmen keimanan seseorang. Setiap iman melibatkan risiko; semakin besar risiko semakin baik bagi iman. Jika kita memiliki bukti konklusif tentang adanya Tuhan, maka iman menjadi tak
menarik lagi karena tak ada unsur risiko di dalamnya. Hanya dan hanya jika bukti-bukti yang kita miliki tidak lengkap dan hanya jika ada risiko, maka iman kita menjadi sesuatu yang berharga. Iman yang menolak bukti-bukti rasional adalah iman yang paling penuh risiko, dan itulah iman yang paling berharga. Sebaliknya, iman yang menuntut adanya bukti-bukti rasional adalah iman yang kurang berharga.
Kaum fideis menganggap independensi iman sebagai sesuatu yang penting, bukan hanya untuk membebaskannya dari kungkungan rasionalitas, tapi juga untuk membebaskannya dari ikatan-ikatan keagamaan formal. Bagi pemeluk fideis (yang konsisten maupun separuh-separuh), pengalaman spiritualitas melampaui identitas agama dan melampui doktrin-doktrin yang diajarkan oleh institusi agama formal. Kedekatan dengan Tuhan atau perjumpaan dengan sesuatu yang agung
tidak mesti harus lewat cara-cara yang digariskan agama tertentu.
Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam
persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal
0 comments:
Post a Comment