Suka Filsafat? Masuk Kemari

MAU DOLAR GRATIS? masuk sini

PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT ZAMAN MODREN


I. PENDAHULUAN
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani filosofia, yang diturunkan dari kata kerja filosofoin, yang berarti: mencintai kebijaksanaan. Akan tetapi kata ini belum menampakkan hakekat filsafat yang sebenarnya.Sebab mencintai masih dapat dilakukan secara pasif saja. Padahal dalam pengertian filosofein itu terkandung gagasan, bahwa orang yang mencintai kebijaksanaan tadi, yaitu seoarang filusuf, dengan aktif berusaha mempeeroleh kebijaksanaa.[1]
Sejak periode awal, orang-oramg sufi berusaha menyingkapkan kondisi-kondisi psikologis: rasa takut dan harapan. Rasa cinta dan emos, juga baqo’ dan fana’. Mereka menganalisa tingkah laku (al-suluk) dan makrifat, dengan bertumpu pada pengalaman langsung dan pengetahuan (al-irfan).[2]
Tidak ada garis batas antara zaman modern dengan zaman Renaisans karena zaman modrn adalah perluasan dari zaman Ranaisans. Manusia maju dari zaman uap ke zaman listrik, zaman atom, electron, radio televise, roket, dan zaman luar angkasa.[3]
II. PEMBAHASAN
Memasuli abad modrn, filsafat mengalami perubahan yang cukup segnifikan bagai perkembangan peradaban mausia. Para filosof zaman modrn menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci ataupun ajaran agama, tidak juga dari penguasa namun dari diri manusia itu sendiri.
1. Renesaissance
Zaman renesaissance adalah jembatan antara zaman pertengahan dengan zaman modrn, Periode antara sekitar 1400 dan 1600, disebut quot; renesaissance (zaman kelahiran kembali). Dalam zaman renesaiasance kebudayaan klasik dihidupkan kembali, kesusastraan, seni dan filsafat mencapai inspirasi mereka dalam warisan Yunani Romawi filosof terpenting dalam Renessain adalah NIcollo Macchivelli (1469-1527), Thomas Hobbes (158-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).
Secarais zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15), yang dimulai dengan munculnya gerakan renaissance.[4]
2. Rene Descartes
Orang yang dapat digelari “bapak filsafat modern” adalah Rene Descrates (1596-1650). Ia dilahirkan di Prancis dan belajar filsafat pada Kolese yang dipimpin Peter-peter Yesuit di desa La Fleche. Dalam buku Discours de la methode (1637) (uraian tentang metode) ia melukiskan perkembangan intelektualnya.
Metode Rene Descartes adalah agar filafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui, kita terutama memerlukan satu metode yang baik yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. IA bermaksud bahwa kesangsian ini dijalakan seradikal mungkin, oleh karenanya karenanay kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang kita miliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang kita anggap pasti ( Misalnya ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh , bahwa Allah ada.) Kalau terdapat suat kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fondamen bagi seluruh ilmu pengetahuan.
3. Rasionalisme
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut dengan rasionalisme karena aliran ini sanggat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas dluar rasio. Sebenarnya Sescartes sendiri sudah termasuk rasionalisme itu.
Dalam aliran rasionalisme terutama ada dua masalah ang dua-duanya diwariskan oleh Descartes; masalah subtabsi dan masalah hubungan antara jiwa dantubuh.
4. Blaise Pascal
Blaise Pascal (1679-1754) menduduki tempat tersendiri dalam pemikiran Prancis abad ke-17, sebagaiman Descartes, Pascal pun mengutamakan baik matematika maupun ilmu alam maupun juga filsafat. Ia tidak boleh terhitung dalam aliran rasionalisme , sebaliknya ia sangat mengkritik aliran tersebut. SEkalipun ia sepakat dengan Descartes dalam mementingkan matematika namun ia tidak setuju dalam dia menerima matematika sebagai model contoh istemewa untuk model filsafat. Filsafal Descartes harus meniru metode matematika. Dalam filsafat Pascaaal manusia dianggap sebagai “misteri”, yang tidak dapat diselami sampai dasarnya. Lebih penting dari rasio adalah hati, demikian kata Pascal. Rasio hanya menghasilkan pengetahuan yang dinggin, sedangkan hati memberikan pengetahuan diman cinta juga mempunyai peranan, dengan rasio kita mempelajari matematika dan ilmu alam, tetapi dengan hati kita mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinngi, terutama tuhan Allah. Dengan kalimat yang kemudian menjadi mashur Pascal ,engatakan: “Le coeurta a ses raison que la raison ne connait point’ JIka boleh dipaksakan sedikit, dalam bahasa Indonesia Dapat diterjemahkan:”Hati mempunyai akal-akalyang tidak dipahami oleh akal”.
5. Empirisme Inngris
Bertentangan dengan rasionalisme yang mengindahkan rasio sebagai sumber utama pengenalan, maka pada masa sesudah Descertes di Inggris timbul suatu aliran lain yang dinamakan empirisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani empiria yang berarti “pengalaman indrawi”. Empirisme memilih pengalaman sbagai sumber utama pengenalan yang dimaksudkan denganya ialah baik pengalan lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniyah yang menyangkut pengalaman pribadi manusia saja. Tidak mengherankan bahwa rasionalisme dan impirisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan indrawi merupakan satu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan indrawi merupakan bentuk pengggenalan yang paling jelas dan sempurna. Seperti telah kita lihat pada rasionalisme di daratan Eropa, pada empirisme Iggris pun masalah subtansi ramai dibicarakan.[5]
6. Aufklarung
Pada abad ke-18 dimulaikah suatu zaman baru Roma yang memang telah berakar pada renessaicence sesrta yang mewujudkan buah pahid dari rasionalisme dan imperialisme abad ke-18 disebut zaman pencerahan Aufklarung.
Menurut Imanuel Khan zaman pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia itu sendiri. Kesalahan itu terletak di disini, bahwa manusia tidak mau memanfaatkan akalnya. Sekarang semboyan orang adalah: “Jaman akal” Pikir!” Volltaire menyebut zaman pencerahan adalah zaman akal”. Sekarang orang merasa, bahwa zaman perwalian pemikiran manusia telah tiada lagi. Umat manusia telah merasa bebas. merdeka dan tidak memerlukan lagi tiap kuasa yang dating dari luar dirinya, dibidang apa pun. Sekarang orang dapat tanpa gangguan hidup demi keadapanya yang tanpa batas.
Memang ada perbedaaan yang cukup menyolok antara abad ke-17 dan ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kennyataan bendawi dan ruhani, yaitu kennyataan yang mengenai manusia dunia dan Allah. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya sebagai mendapat tugas untuk meneliti secara kritis (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal), disegala yang ada baik dalam Negara maupun masyarakat, dibnidang ekonomi, hokum, agama, pengajaran, pengajaran dan lain sebagainya. Juga orang tidak takut menggemukakan pendapatnya dalam bentuk celaan yang kurang atau yang lebih tajam.
Bersamaan dengan rencana kerja yang berisi penghargaan dan kritik timbulah usaha untuk memperluas pengaruh filsafat. Dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hannya menjadi hal yang istimewa beberapa ahli saja, tetapi sekarang orang berpendapat, bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil ppemikiraan filsafat dan bahwa juga menjadi tugas filsafat untuk membebaskan khalayak ramai dari kuasa gereja dan iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, agar supaya mereka dapat mendapat bagian dari berkat-berkat zaman pencerahan.[6]
7. Imanuel Kant
Tidakboleh disangsikan bahwa Imanuel Kant (1724-1804) termasuk filsuf terbesar dalam sejarah filsafat modern. Tentang riwayat hidupnya tidak dapat dikisahkan hal-hal yang mencolok mata. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Dalam universitas di asalnya ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya menjadi professor di sana. Dalam bidaaang filsafat, Kant dididik dalam suasana arasionalisme yang pada waktu iti merajalela di universitas-univrtsitas di Jerman. Kant tidak kawin dan selalu hidup tertib, sehingga mdapat mencurahkan seluruh waktu dan tenaga kepada karya-karya filosofnya.
Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi menjadi dua periode: jaman pra kritis dan jaman kritis. Dalam jaman pra kritis ia ia menganut pendirian rasionalisme yang dilancarkan oleh Wolf dan kawan-kawanya, tetapi karena telah dipengaruhi oleh Hume, Berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume-lah yang telah membangunkan dia dari tidur dogmatisnya. Ynag menyusul adalah jaman kritis. Dan justru dalam jaman ke dua inilah Kant mengubah wajahg filsafat secara radikal. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan ia menentangkan kritisisme dengan dogmatisme. Menurut dia kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalananya dengan terlebih dulu mennyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant mendahukuinya dengan tergolong dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah kepaa kemapuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dulu.
8. Idealisme Jerman
Tugas ahli sejarah filsafat menjadi semakin berat, jika ingin meluliskan perkembangan filsafat setelah Kant, banyak aliran dan system muncul. Yang masing-masing mempunyai beraneka ragam nuansa pada filosuf-filosuf di dalamnya. Maka dari itu dengan lebih ketat kita harus membatasi dari pada garis besarnya saja
Revolusi Kopernikan yang telah diadakan oleh Kant memusatkan subyek dalam proses pengenalan, tetapi ia menerima juga adalah obyek belaka yaitu “das Ding-an –sicch” (realitas pada dirinya). Pada idealis dalam hal ini tidak sepakat dengan Kant dan mereka menyangkal adanya “das Ding-an –sicch”. Menurut pendapat mereka, Kant datuh pada kontradiksi dengan mempertahankan “das Ding-an –sicch”. Apa sebabnya? Karena rupa-rupanya buat Kant “das Ding-an –sicch” menyebabkan dalam diri kita Pengindraan-pengindraan dan akibatnya berfungsi sebagai pennyebab. Dan menurut Kant sendiri penyebab merupakan salah satu katagori akal budi dan akibatnya tidak boleh disifatkan pada “das Ding-an –sicch”. Karena alas an-alasan serupa para idealis mengesampingkan “das Ding-an –sicch”. Menurut pendapt mereka tidak ada suatu realitas yang obyektif belaka. Realitas seutuhnya bersifatsubyektif. Realitas seluruhnya merupakan buah hasil suatu subyek. Yang dimaksud di sini dengan subyek bukanlah subyek peroarangan tertentu (anda atau aku) melainkan subyek absolut atau, dipandang dari sudut agama, Allah.
9. Positivisme
Nama positivisme diintroduksikan A.Comte dalam perbendaharan kata filosofis. Barang tentu, nama ini berasal dari kata “Positif “. Di sini “Positif” sama artinya dengan factual (apa yang berdasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Sudah nyata kiranya dengan demikian ilmu pengetahan empiris diangkat menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan pada umumnya. Filsafat juga harus menteladan contoh itu. Oleh karenanya tidak mengherankan, bila positifisme menolak cabang filsafat yang biasanya disebut merafisika. Menanyakan “Hakikat” benda-benda atau “Pennyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidak mempunyai arti apa pun juga. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hannya mennyelidiki fakta-fakta. Tugas khusus filsafat adalah mengkoordinasikan ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara begitu banyak ilmudan beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud dari positivisme bersangkut aput deengan apa yang telah dicita-citakan oleh empirisme. Positifvisme jugamengutamakan pengalaman. Tetapi harus ditambah bahwa positivisme membatasi pada pengalaman obyektif saja, sedangkan empirisme Inggris, seperti telah diuraikan di atas, menerima juga pengalaman batiniyah atau subyektif sebagai sumber pengetahuan.
10. Matrialisme
Perbedaan marerialisme dengan positivme dapat diterangkan sebagai berikut. Di atas sudah diuraikan bahwa positivisme membatasi dari pada fakta-fakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap keterangan yang melampaui fakta-fakta. Karena alas an itulah salam rangka positivisme tidak ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepada materiatau salah satu proses materiil. Kiranya sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan metafisika, karena materialisme sendiri brerdasarkan metafisika.
11. Soren Kierkegaard
Suatu reaksi atas idealisme yang sama sekali berlainan dengan reaksi materialisme berasal dari pemikir Denmarkk yang bernama Soren Kierkegaasd (1813-1855). Riwayat hidupnya bersifat dramatis, bukan karena banyak peristiwa yang mencolok mata, melainkan tekanan psikologis yang disebabkan oleh hubugannya dengan ayanhnya dan pergumpulanya dengan imam kepercayaan kristiani. Agar diperoleh suatu pengetahuan lebih mendalam tentan pemikran Kierkegaard, pasti diperlukan juga suatu penelitian yang lebih teliti mengenai hidupnya, sebab dia adalah seorang pemikir yang hidupnya mempunyai hubungan erat dengan pikiranya. Menurut pendapat Kierkegaard filsafat tidak merupakan suatu sistem, melainkan pengekpresian suatu eksistensi individual, karerna ia menentang filsafat yang bersifat sistematis, dapat dimengerti sedikit tentang ia menulis karya-karyanya dengan berbagai nama samaran. Dengan berbuat demikian ia coba menghindari bahwa buku-bukunya dianggap sebagai fase-fase perkembanggan yang menganut pemikiran yang sama. Karena ia menggunakan nama-nam samaran, menjadi mungkin di dalam buku yang satu ia menyerang pendapat-pendapat yang lebih dahulu diuraikan dalam buku-buku terdahulu. Tentu saja prosedur ini mengakibatkan banyak kesulitan bagi setiap orang yang ingin mempelajari pemikiran Kierkegaard dengan cara yang lebih sistematis.
12. Friedrich Nietzsche
Seorang filusuf Jerman yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam sejarah filsafat abad 19 adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900). Ia tidak dapat digolongkan daalm salah satu aliran yang memainkan peranan pada waktu itu. Ia dilahirkan di Rocken kota Laipzig. Karena ia lahir sebagai anak seorang pendeta Protestan, dapat dimengerti bahwa ia dididik secarareligius. Pada tahun 1864 ia masuk universitas Bonn dengan maksud mempelajari teologi dan kesustraan klasik (Yunani dan Romawi). Tidak lama kemudian ia pindah ke Leipzig untuk meneruskan setudinya mengenai filosofis klasik. Karena itu dia sudah meninggalkan iman kristiani. Suatu peristiwa yang sangat penting suatu ia menjadi mahasiswa adalah perkenalan dengan karya-karya Schopenheauer, yang kebetulan ditemi\ui dalam satu tempat penjualan buku bekas. Nierzche juga sangat mengagumi juga sangat mengagumi komponis Jerman yang bernama Richard Wagner (1813-1883) dan beberapa waktu lamanya ia bersahabat akrab dengan dia. Tidak dapat disangkal bahwa ia sendiri juga mempunyai bakat besar dalam bidang musik. Pada nierzche berumur 24 tahun, ia sudah diangkat menjadi professor dalam bidang Filologi klasik pada universitas di Basel (swis).
Sulit sekali untuk menyingkatkan pemikiran Nietzsche. Ia tidak pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis. Satu-satunya cara yang direncanakan oleh Nietzsche untuk membentangkan filsafatnya dalam bentuk sistematis, tidak pernah diselesaikan. Menurut Nietzsche karyanya akan terdiri dari empat jilid dan berjudul Die Wille Zur Macht. Eine Umwertung Aller Werte (Kehendak untuk berkuasa. Suatu transvaluasi semua nilai). Tetapi yang ditemukan sesudah Nietzsche meninggal hanyalah catatan-catatan yang tidak mudah kirangkai menjadi uraian sistematis. Diantara banyak buku yang dikarang Nietzsche ada yang berbentuk puitis juga ada yang berupa pepatah.[7]
III. PENUTUP
Demikaianlajh makalah yang dapat saya sampaikan. Semoga dapat menambah pengetahuan mengenai sejarah filsafat, saya manusia biasa yang tak bias terhindar dari salah, maka saya harapkansaran dan kritik serta masukan demi kemajuan kita bersana.
Daftar Pustaka
Ø Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat ,(Yogjakarta: Kanisius 1980).
Ø Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat,( Yogyakarta:Kanisius, 1998).
Ø Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat1, (Yogjakarta: Kanisius 1980).
Ø Madkour, Ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2004).
Ø Bakhtiar Amsal, filsafat ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).
Ø Solihin, M, Filsafat dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).


[1] Harun Hadi Wijono, Sari Sejarah Filsafat Barat1, Yogjakarta: Kanisius 1980, hlm 7
[2] Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm 2
[3] Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm39
[4] M Solihin, Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Bandng: Pustaka Setia, 2006, hlm 27
[5] K Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:Kanisius, 1998, hlm 45-50
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat t,Yogjakarta: Kanisius 1980, hlm 47
[7] Op. cit. hlm 59-86



Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal

MATERIALISME


I. PENDAHULUAN
Masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang, sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari?
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani - merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Materi.
Materi mempunyai dua pengertian, yaitu arti materi menurut filsafat, dan materi menurut ilmu alam. Materi menurut ilmu alam mempunyai arti yang lebih sempit daripada arti materi menurut filsafat
Materi menurut ilmu alam, ialah segala sesuatu yang mempunyai susunan atau yang tersusun secara organis atau dengan kata lain benda. Benda menurut ilmu alam mempunyai tiga bentuk yaitu benda padat (solid), benda cair (liquid) dan gas (gasceus).
Materi menurut filsafat, ialah segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera manusia, serta bisa menimbulkan ide-ide tertentu. Dengan begitu pengartian materi menurut filsafat mencakup pula pengertian materi menurut ilmu alam.
Materi mempunyai peranan menetukan ide, materi menimbulkan ide. Ide manusia timbul setelah terlebih dahulu suatu materi ditangkap oleh indera. Sudah jelas yang “memproduksi” ide itu adalah sebuah materi yang sudah mencapai titik perkembangan yang sangat tinggi yang disebut dengan otak.
2. Ide.
Sebagaimana yang diterangkan di atas, materialisme dialektis berpendapat bahwa ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi, ini mengandung dua pengertian:
i. Dipandang dari proses asalnya ide / pikiran, nyatalah bahwa sensasi (perasaan) itu tidak dilahirkan oleh materi biasa. Melainkan semacam organisme tertentu yang telah mencapai perkembangan yang sangat tinggi dan mempunyai struktur yang sangat kompleks yang kita sebut sebagai otak. Tanpa otak tidak akan ada pikiran / ide, otak atau sistem urat syaraf yang sangat kompleks adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karena itu ide juga merupakan produk dari proses perkembangan dari alam.
ii. Dipandang dari isinya, bagaimanapun ide adalah pencerminan dari kenyataan obyektif. Marx berkata bahwa: “ide tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran”. Pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan praktek sosial manusia. Oleh karenanya ide juga merupakan produk dari proses perkembangan praktek sosial manusia.
Ide adalah cermin dari materi atau merupakan bentuk lain dari materi. Tetapi ide tidak mesti sama dengan materi, ide dapat menjangkau jauh di depan materi. Walau begitu ide tidak akan dapat lepas dari materi. Materi menentukan ide, sedangkan ide mempunyai peranan aktif terhadap perkembangan materi. Jadi ide mempunyai peranan aktif, tidak pasif seperti pencerminan cermin biasa.
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada ide. Pandangan ini berdasar atas kenyataan menurut proses waktu dan zat.
Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada di dunia, alam raya ini sudah ada.
Menurut zat, manusia tidak bisa berpikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baru muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan pikiran.” Maksudnya sifat/pikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, “masyarakat sekelilingnya” –ini menjadi materi atau sebab yang mendorong terciptanya pikiran dalam individu tersebut.
B. Tokoh-Tokoh Materialisme
1. Ludwig Andreas von Feuerbach (28 Juli 1804 – 13 September 1872)
Adalah seorang filsuf dan antropolog Jerman. Ia adalah anak laki-laki keempat dari hakim terkemuka Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach.
Feuerbach lulus dari Universitas Heidelberg dan bermaksud untuk melanjutkan kariernya di Gereja. Karena pengaruh Prof. Karl Daub ia kemudian mengembangkan minat dalam filsafat Hegel yang dominan waktu itu dan, meskipun ditentang oleh ayahnya, ia melanjutkan ke Berlin untuk belajar di bawah bimbingan sang empu sendiri. Setelah belajar selama dua tahun, pengaruh Hegelian mulai melemah. Feuerbach kemudian berhubungan dengan kelompok yang dikenal sebagai Hegelian Muda, yang mensintesiskan cabang yang radikal dari filsafat Hegel. Tulisnya kepada seorang teman, "Aku tidak dapat lagi memaksakan diriku untuk mempelajari teologi. Aku rindu menyelami alam dalam jiwaku, alam yang di hadapan kedalamannya sang teolog yang kecil hati menjadi kecut hati; dan dengan manusia alamiah, manusia di dalam kualitas keseluruhannya." Kata-kata ini menjadi kunci bagi perkembangan Feuerbach. Ia menyelesaikan pendidikannya di Erlangen di Universitas Friedrich-Alexander, Erlangen-Nuremberg dalam studi ilmu alam.
Dalam dua bukunya dari periode ini, Pierre Bayle (1838) dan Philosophie und Christentum (1839), yang pada umumnya membahas teologi, ia berpendpat bahwa ia telah membuktikan "bahwa Kekristenan pada kenyataannya telah lama lenyap bukan hanya dari nalar tetapi dari kehidupan umat manusia, bahwa ia tidak lebih daripada sebuah gagasan yang telah mapan." Pernyataan ini sangat kontradiktif dengan ciri-ciri khas peradaban yang sezaman.
Serangan ini diikuti dalam karyanya yang terpenting, Das Wesen des Christentums (1841), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (The Essence of Christianity, oleh George Eliot, 1853, ed. ke-2 1881), bahasa Perancis dan Rusia. Tujuannya dapat digambarkan secara singkat sebagai upaya untuk memanusiawikan teologi. Ia menyatakan bahwa manusia, bagi dirinya sendiri, sejauh bahwa ia rasional, adalah obyek pikirannya sendiri
Agama adalah kesadaran tentang yang tidak terhingga. Karena itu agama "tak lain daripada kesadaran akan ketidakterbatasan kesadaran, dalam kesadaran akan yang tidak terhingga, atau, dalam kesadaran tentang yang tidak terhingga, subyek yang sadar obyeknya adalah ketidakterbatasan dari hakikatnya sendiri." Jadi Allah tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri.
Tema Feuerbach adalah turunan dari teologi spekulatif Hegel yang menyatakan bahwa Ciptaan tetap merupakan bagian dari sang Pencipta, sementara sang Pencipta tetap lebih besar daripada Ciptaan. Ketika masih mahasiswa Feuerbach pernah menyajikan teorinya ini kepada Profesor Hegel, namun Hegel menolak untuk menanggapinya secara positif..
Pada bagian I dari bukunya Feuerbach mengembangkan apa yang disebutnya what "pengertian sejati atau antropologis agama." Ia memperlakukan Allah dalam berbagai aspeknya "sebagai keberadaan dari pemahaman,” "sebagai keberadaan atau hukum moral," "sebagai cinta kasih" dan seterusnya. Dengan demikian Feuerbach memperlihatkan bahwa dalam segala aspek Allah sesuai dengan suatu ciri atau kebutuhan dari sifat manusia. "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah," katanya, "ia harus menemukan dirinya di dalam Allah." Dalam bagian 2 ia membahas "hakikat yang palsu atau teologis dari agama," artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai memiliki keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang diyakininya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, pengertian tentang kebenaran," dan keyakinan akan sakramen seperti misalnya Perjamuan Kudus, yang baginya merupakan sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas."
Meskipun banyak orang menganggap bukunya Intisari Kekristenan ditulis dengan gaya yang sangat baik dan isinya penting, buku ini tidak pernah menimbulkan kesan yang mendalam terhadap pemikiran di luar Jerman. Perlakuan Feuerbach terhadap bentuk-bentuk agama yang sesungguhnya sebagai ungkapan berbagai kebutuhan manusia, kita secara fatal diperlemah oleh subyektivismenya. Feuerbach menyangkal bahwa ia layak disebut seorang ateis, namun penyangkalan ini tinggal penyangkalan. Apa yang disebutnya “teisme” adalah ateisme dalam pengertian sehari-hari. Feuerbach bekerja keras dalam kesulitan yang sama seperti Fichte; kedua pemikir ini berjuang dengan sia-sia untuk mempertemukan kesadaran keagamaan dengan subyektivisme.
Masalah-masalah Selama 1848-1849 serangan Feuerbach terhadap ortodoksi menjadikannya seorang pahlawan di kalangan partai revolusioner, tetapi ia sendiri tidak pernah terjun ke dalam gerakan politik, dan memang ia tidak mempunyai kualitas sebagai seorang pemimpin rakyat. Pada periode Kongres Frankfurt ia menyampaikan kuliah-kuliah terbuka tentang agama di Heidelberg. Ketika dewan para pangeran ditutup, ia pindah ke Bruckberg dan menyibukkan dirinya sebagian dengan studi ilmiah, sebagian dengan menyusun bukunya Theogonie (1857).
Pada 1860 karena kegagalan pabrik porselin istrinya, ia terpaksa meninggalkan Bruckberg, dan he menjadi sangat melirit, namun teman-temannya membantunya dengan dukungan keuangan. Bukunya yang terakhir, Gottheit, Freiheit und Unsterblichkeit, muncul pada 1866 (ed. ke-2, 1890). Setelah lama mengalami kemunduran, ia meninggal dunia pada 13 September 1872. Ia dimakamkan di Nuremberg (Johannis-Friedhof) di pemakaman yang sama dengan seniman Albrecht Dürer.[1]
2. Karl Marx
Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi. Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.G:\Ahnaf_Mterialisme\Karl_Marx.htm - cite_note-Jonathan-0
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
Pemikiran Marx tidak terlepas dari situasi yang terjadi pada abab 18 dan 19 yaitu perkembangan industri sebagai dampak dari Revolusi Industri yang diawali di Inggris. Marx melihat ada ketidakberesan dalam masyarakat yang dijumpainya karena muncul muncul ketidakadilan dan manusia terasing dari dirinya sendiri. Keterasingan ini sebagai dampak dari hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Hak milik atas alat-alat produksi ini menjadikan perbedaan kelas antara kelas atas kelas bawah. Bentuk struktur dan hubungan yang terjadi dalam bidang ekonomi ini dicerminkan dalam struktur kekuasaan di bidang sosial-politik dan ideologi.
Munculnya kelas-kelas sosial dan hak milik atas alat-alat produksi disebabkan karena usaha manusia untuk mengamankan dan memperbaiki keadaan hidup. Usaha ini dilakukan dengan pembagian kerja yang semakin spesialis. Pembagian yang semakin spesialis inilah yang akhirnya membuat perbedaan tajam antara hidup seseorang yang berada di kelas atas ( karena dia menguasai alat-alat produksi sehingga tidak perlu bekerja tapi memperoleh penghasilan yang tinggi) dan kelas bawah ( ketiadaan kepemilikan alat-alat produksi memaksa kelas bawah/pekerja bekerja keras untuk bertahan hidup ).
Menurut Marx, pembebasan manusia dari keteransingannya ini dapat tercapai apabila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus. Dengan demikian tercipta keadaan tanpa hak atas milik pribadi (sosialisme). Namun penghapusan ini tidak dapat dilakukan begitu saja. Sebagaimana hak milik atas alat-alat produksi muncul dari perkembangan historis, maka penghapusan ini tergantung pula pada syarat-syarat /hukum-hukum objektif. Maka. Marx melakukan penelitian syarat-syarat objektif penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan sosialisme.
Dari latar belakang inilah akhirnya terbentuk sistem filsafat Marx yang dikenal sebagai materialisme sejarah.
Marx mengemukakan bahwa yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran masyarakat, bukanlah apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya tetapi keadaan riil masyarakat itu sendiri, kondisi dan situasi hidup masyarakat. Jadi bukan sesuatu yang abstrak yang ada di tataran kepala, yang dicita-citakan, tapi fakta-fakta /keadaan yang ada, proses hidup yang nyata. Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut keadaan masyarakat. Dengan demikian, keadaan masyarakat selain mempengaruhi perkembangan masyarakat juga mempengaruhi kesadaran masyarakat itu sendiri.
Keadaan masyarakat yang dimaksud adalah produksi dan pekerjaan manusia. Manusia ditentukan oleh produksi, baik hasil produksinya maupun cara berproduksi. Pandangan inilah yang disebut materialisme, yang berarti kegiatan dasar manusia adalah kerja manusia. Dalam hal ini pandangan Marx menerima Feurbach bahwa kenyataan terakhir adalah objek indrawi, dalam pengertian objek indrawi ini dipahami sebagai kerja atau produksi. Namun perbedaan dari Feurbach adalah dunia indrawi yang mengelilinginya itu bukan sesuatu yang ada begitu saja, melainkan alam merupakan produk dari industri dan masyarakat, dalam arti alam adalah produk dari sejarah.
Kata meterialisme yang digunakan Marx bukanlah dalam arti filosofis sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjukkan pada faktor-faktor yang menentukan sejarah yang terdapat dalam produksi kebutuhan manusia. Seperti dalam penjelasan sebelumnya, faktor-faktor ini mengacu pada keadaan manusia.
Istilah sejarah mengacu pada Hegel sebagai proses dialektis diterima Marx. Akan tetapi terdapat perbedaan pengertian. Sejarah dalam pengertian Marx adalah perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan kebebasan, bukan perihal perwujudan diri Roh, bukan pula tesis–anti tesis Roh Subjektif –Roh Objektif melainkan menyangkut kontradiksi-kontradiksi hidup dalam masyarakat terutama dalam kegiatan ekonomi dan produksi. Jadi untuk memahami manusia dan perubahannya tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia melainkan melihat segala hal yang berkaitan dengan produksi.
Begitu pula dengan kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh keadaannya dalam masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam kelas sosial. Sebagai contoh kaum buruh ( kelas proletar). Ketiadaan atas kepemilikan alat-alat produksi membuat buruh secara historis terpaksa tidak punya banyak pilihan bertindak. Tujuan dan kegiatan historisnya telah digariskan dalam keadaan hidupnya yang “bergantung” dari kemauan kelas pemilik alat-alat produksi. Karena keadaan ini, cara produksi menentukan cara manusia berpikir. Dalam hal ini, cara berpikir buruh karena bergantung pada kelas atas adalah bagaimana untuk dapat bertahan hidup ( survive ). Sedangkan pada kelas atasnya adalah untuk menguasai sebanyak mungkin alat produksi. Dari hal tersebut dapat ditarik beberapa hal. Pertama, cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas sosial. Kedua, keanggotaan dalam kelas sosial menentukan kepentingan orang. Ketiga, kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa yang dianggap baik-buruk.
Jika keadaan menentukan cita-cita dan kesadaran, maka bagi Marx, hidup rohani, agama, moralitas, nilai-nilai budaya, dll bersifat sekunder. Hal-hal tersebut bersifat primer karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyarakat dan pola produksi. Jika kita mengharapkan perubahan dalam masyarakat maka yang diperlukan adalah perubahan dalam cara produksi. Perihal hubungan lingkup kehidupan manusia ini dapat dibayangkan sebuah bangunan yang terdiri dari basis dan bangunan atas.
a. Basis/Dasar
Basis (unterbau) ditentukan dua faktor. Pertama, tenaga-tenaga produktif yaitu kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Ada tiga unsur yang termasuk tenaga-tenaga produktif: alat-alat kerja, manusia dan kecakapan yang dimiliki, dan pengalaman produksi. Kedua, hubungan-hubungan produksi yaitu, hubunagn kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Hubungan-hubungan ini dalam pengertian struktur pengorganisasian sosial produksi. Misalkan pemilik modal dan pekerja. Hubungan-hubungan produksi selalu berupa hubungan kelas (struktur kelas). Karena struktur kelas ditentukan atas hak milik atas alat-alat produksi maka hubungan produksi ditentukan oleh hal yang sama juga.
Hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur kekuasaan ekonomis. Hubungan produksi ditandai dengan fakta bahwa alat-alat produksi dikuasai oleh pemilik. Maka konflik antar kelas mewarnai hubungan dalam basis.
Selain itu, hubungan-hubungan produktif ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga produktif, tidak tergantung pada kemauan orang tetapi pada tuntutan objektif produksi. Sedangkan alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia melainkan di bawah tekanan produksi untuk semakin efisien. Jadi tingkat perkembangan produksi berdasarkan insting /naluri manusia untuk mempertahankan hidup.
b. Banguanan Atas
Bangunan atas (unberbau) terdiri dari dua unsur. Pertama, tatanan institusional yaitu: segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, semisal sistem negara dan hukum. Kedua, tatanan kesadaran kolektif memuat segala kepercayaan, norma-norma, dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada manusia. Semisal pandangan budaya, seni, agama, dan filsafat.
Menurut Marx, Institusi-institusi, agama, moralitas, dll ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat dan negara selalu mendukung kelas atas dan agama serta sitem lainnya memberi legitimasi atas kekuasaan kelas atas. Dengan kenyataan bahwa bidang produksi ( kekuasaan di bidang ekonomi ) dikuasai oleh pemilik alat-alat produksi maka, struktur-struktur kekuasaan politis dan ideologis dientukan oleh struktur hak milik juga. Inilah yang dimaksudkan dalam basis dan bangunan.
Melihat realita dilapangan memang demikian. Mereka yang berkuasa dalam ekonomi adalah pemilik modal (alat-alat produksi). Selain mereka menguasai ekonomi, ideologi dan politik pun mereka kuasai. Kepercayaan-kepercayaan dan sistem nilai semisal feodal atau ajaran yang diberikan para pemimpin agama menjadi sumber legitimasi bagi kekuasaan kelas atas.
Ketegangan antara kekuatan produksi yang terus berkembang seiring dengan tututan efisiensi dalam produksi dengan pola hubungan konservatif kelas atas dan bawah (kedudukan yangtidak seimbang) akhirnya membawa pada revolusi. Revolusi ini tidak disebabkan oleh negara sebagai agen perubahan. Dengan keberpihakan negara pada kelas atas maka negara tidak dapat diharapkan menjadi agen perubahan. Kelas bawahlah yang menjadi agen perubahan bagi dirinya sendiri. Usaha pertentangan kelas bawah inilah yang dinamakan pejuang kelas, motor kemajuan sejarah.
Kelas bawah dapat melakukan perjuangannya walau mendapatkan penindasan kelas atas karena perkembangan tenaga-tenaga produktif. Kepentingan ekonomi kelas penguasa untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya menjadi dorongan kelas penguasa untuk melakukan perbaikan, perluasan produksi serta rasionalisasi, efisiensi cara produksi yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan tenaga produksi (buruh/kelas bawah). Kemampuan yang terus bertambah ini akhirnya mendorong mereka untuk bersatu dan melakukan perlawanan. Sedangkan struktur kekuasaan ekonomis tidak berkembang terlebih dengan usaha dari masing-masing anggota tiap kelas untuk memiliki kekuasaan sebesar-besarnya. Akhirnya beranjak dari situasi inilah revolusi terjadi dan kelas bawah dapat mengalahkan kelas atas.[2]
III. KESIMPULAN
Feuerbach jembatan penting yang menhubungkan antara Hegel dan Marx, terutama kritiknya terhadap Hegel mengenai penekanan Hegel pada kesadaran dan semangat masyarakat.
Ia menegaskan perlu meninggalkan idealisme subjektif Hegel untuk kemudian memusatkan perhatian bukan pada gagasan, tapi pada realitas material kehidupan manusia. Menurut Feuerbach Tuhan adalah esensi kehidupan dari manusia yang mereka proyeksikan menjadi sebuah kekuatanimpersonal.
Manusia menempatkan Tuhan diatas dan disekeliling mereka sendiri yang menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan membangun seperangkat ciri positif bagi Tuhan (maha sempurna, mahakuasa, mahasuci dls). Dan sebaliknya manusia merendahkan dirinya. Menurut Feuerbach masalah keyakinan agama seperti itu harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan filsafat materialis yang menempatkan manusia menjadi objek tertinggi.
Dengan demikian jelaslah pengertian materialisme dialektis tentang materi dan ide bertentangan dengan paham idealisme yang menganggap ide adalah yang terlebih dahulu ada daripada materi. Materialisme dialektis di satu pihak mengatakan materi ada terlebih dahulu daripada ide, tetapi di pihak lain mengakui peranan aktif daripada ide dalam perkembangan materi, ini mengandung dua pengertian :
1. Seperti dijelaskan di atas ide adalah pencerminan materi, tetapi proses pencerminan itu tidak semudah atau sesimpel pencerminan dengan kaca-cermin, yang hanya bisa menjelaskan gejala luar saja. Melainkan melalui pencerminan yang aktif, melalui proses pemikiran yang rumit sehingga dapat mencerminkan kenyataan obyektif sebagaimana adanya, baik mengenal sesuatu itu dari gejala luarnya maupun gejala dalamnya atau hakikat suatu materi. Peranan aktif dari ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau perkakas untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan maupun mengubah keadaan.
2. Peranan aktif ide itu berarti dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak dengan sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan praktek sosialnya untuk kehidupan.
Ide revolusioner yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan obyektif, memainkan peranan untuk mendorong perkembangan keadaan. Sebaliknya ide reaksioner, ialah ide yang berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan obyektif dan menghambat kemajuan.
Dengan dijelaskannya keprimeran materi dan peranan aktif ide, materialisme dialektis mengajarkan supaya dalam memandang dan memecahkan permasalahan harus bertolak dari kenyataan yang kongkrit dan berdasarkan data-data yang obyektif, dan jangan bersandar pada dugaan-dugaan subyektif dan hanya terpaku pada buku-buku yang mati, dan juga harus ditujukan pada kebutuhan praktek yang kongkrit. Dipihak lain ia memperingatkan kita kepada pentingnya teori, tetapi di pihak lain ia menolak “pendewaan” kepada teori atau dengan kata lain menentang dengan tegas terhadap kedogmatisan.
IV. PENUTUP
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi pembenahan makalah kami.
Wallahulmuwaffiq ila aqwamitthoriq


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Feuerbach, dikutip pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 @ pukul 20.11 wib
[2] http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2008/06/f-i-l-s-f-t.html, dikutip pada hari Sabtu, 26 Juni 2010 @ pukul 19.18 wib



Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal

FENOMENOLOGI; Edmund Husserl




I. PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu sering kali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanistis, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistic terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek ke dalam proses keilmuan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Edmund Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano[1]. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia[2].
B. Tulisan-Tulisan Terpenting
1. Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2. Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3. Meditations Cartesiennes 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (Solipisme: percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?[3]
C. Pikiran-Pikiran Pokok
1. Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran[4]. Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat kita membeli pulpen, kita tidak memikirkan hal-hal yang teoritis, berapa panjang pulpen, berapa diameternya, dan lainnya. Kita membeli pulpen untuk menulis, artinya kita langsung menghayati.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan Noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Dalam tataran ontologis, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistic, bukan pendekatan parsial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penelitian yang rinci, konkret dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna di balik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tata cara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografis, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran aksiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empirik sensual – logic dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logic, kebenaran etik dan kebenaran transendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, bahkan penelitian tentang keagamaan menggunakan metode ini, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi, yang memberi peluang atau eksistensi bagi yang lain untuk hidup. [5]
2. Intensionalitas
Intensionalitas merupakan kunci filsafat Husserl. Intensionalitas adalah asumsi ontologis yang menyatakan bahwa esensi realita dengan sendirinya menampakan diri pada kesadaran intuitif subjek. Begitu pula sebaiknya, kesadaran subjek merupakan keinsyafan mendalam di tengah penampakan esensi realitas. Kesadaran subjek dan esensi realitas menyatu secara intensional dalam kesadaran subjek.[6] Ringkasnya, intensionalitas adalah menyatunya objek dan subjek secara psikis.
Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.
Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.
Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.[7]
3. Tiga Jenis Reduksi
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomena.[8]
D. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' di mana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia meneorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
E. Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Di balik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.[9]
III. PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah yang menjadi dasar dari fenomenologi.
Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya, Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh, keberadaan orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu berada di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai dunia kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah dunia di sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh makna dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi adalah suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan dengan dunia kehidupannya.
Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan.[10] Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan
DAFTAR PUSTAKA
David Woodruff Smith, Husserl, London, Routledge, 2007
Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983
Http://jurnalstudi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-fenomenologi-menurut-edmund.html
Muslih, Muhammad, Filsafat ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar,Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.- Yogyakarta: Belukar, 2004
Muslih, Muhammad, Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah:Husserl di Muka cermin Sahrawardi, artikel dimuat dalam Jurnal Tsaqofah, volume 4, nomor 2, R. Tsani 1429


[1] Franz Brentano adalah guru filsafat Husserl; karya filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 114
[3] http://jurnalstudi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-fenomenologi-menurut-edmund.html, Dikutip Pada Hari Rabu, 30 Juni 2010 @ Pukul 21.58 Wib
[4] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151
[5] Muhammad Muslih, Filsafat ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar,Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.- Yogyakarta: Belukar, 2004. Hlm. 148
[6] Muhammad Muslih, Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah:Husserl di Muka cermin Sahrawardi, artikel dimuat dalam Jurnal Tsaqofah, volume 4, nomor 2, R. Tsani 1429, hlm. 260
[7] David Woodruff Smith, Husserl, London, Routledge, 2007, hlm 193
[8] Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117
[9] http://jurnalstudi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-fenomenologi-menurut-edmund.html, Dikutip Pada Hari sABTU, 3 JuLi 2010 @ Pukul 21.15 Wib
[10] David Woodruff Smith, Opcit, hlm 234



Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal
Search Terms : property home overseas properties property county mobil sedan oto blitz black pimmy ride Exotic Moge MotoGP Transportasi Mewah free-islamic-blogspot-template cute blogger template free-blog-skins-templates new-free-blogger-templates good template blogger template blogger ponsel Download template blogger Free Software Blog Free Blogger template Free Template for BLOGGER Free template sexy Free design Template theme blogspot free free classic bloggerskin download template blog car template website blog gratis daftar html template kumpulan templet Honda SUV car body design office property properties to buy properti new