I. I. PENDAHULUAN
Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Filsafat ini berusaha bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya.[1]
Pragmatisme merupakan salah satu dari sekian munculnya aliran filsafat yang berkembang pada abad kontemporer. Pragmatisme ini berasal dari kata ‘practic’ dan ‘practical’. Istilah ini berasal bahasa Yunani yakni dari kata pragma yang berarti action.[2] Pengertian Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.[3] Filsafat pragmatis ini pertama kali dikenalkan oleh Charles Pierce pada tahun 1878 melalui artikelnya yang berjudul, ‘How to make our ideas clears’.[4] Namun nama yang melekat dalam filsafat pragmatisme adalah William James. Hal ini mungkin gagasan-gagasan yang dilontarkan James mampu memberikan pengaruh yang lebih besar pada masyarakat dunia sekaligus yang memopulerkan filsafat pragmatis di Amerika Serikat.
Melihat definisi di atas tampaknya pegangan filsafat pragmatis adalah logika pengamatan. Di mana aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, dengan syarat dapat membawa akibat yang praktis. Termasuk pengalaman-pengalaman pribadi diterima asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang juga. Dengan demikian landasan pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya filsafat ini ternyata berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, maksudnya sekalipun semuanya berpangkal dari satu gagasan asal, namun bermuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya ketiganya itu adalah sama, yaitu menolak segala intelektualitas, absolutisme dan meremehkan logika formal.[6] Ketiga dasar tersebut nantinya akan diuraikan dalam bagian pokok-pokok ajaran dalam filsafat pragmatis.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai; pertama, pokok-pokok ajaran pragmatisme. kedua, yaitu dua tokoh yang memopulerkan filsafat ini yaitu William James dan John Dewey dengan konsep kepercayaan atau agama. Ketiga kolaborasi pemikiran kedua tokoh tersebut serta kesimpulan.
II. II. PEMBAHASAN
A. Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme
Sesuatu yang penting dalam filsafat pragmatis dan menjadi pegangan adalah logika pengamatan. Oleh karena itu aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Meskipun itu pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi, kebenaran mistis, semuanya dapat diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan, dengan syarat membawa akibat praktis yang bermanfaat. Atas dasar inilah maka patokan bagi pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis.[7]Dasar-dasar yang digunakan dalam filsafat pragmatis adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut ; pertama menolak segala intelektualisme, kedua, absolutisme dan ketiga meremehkan logika formal.[8] Aliran pragmatis menolak intelektualisme, ini berarti juga menentang rasionalisme sebagai sebuah pretensi dan metode. Dengan demikian tidak mempunyai aturan-aturan dan doktrin-doktrin yang menerima metode. Seorang ahli pragmatis Italia bernama Papini mengatakan ; pragmatis adalah ketiadaan dalam teori pragmatis, ibarat seperti sebuah koridor dalam sebuah hotel.[9]
Dasar kedua adalah absolutisme. Pragmatisme tidak mengenal kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum ataupun bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri pun tidak ada. Alasan ini disebabkan adanya pengalaman yang berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa akan berubah, karena di dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali yang ada adalah kebenaran-kebenaran ( dalam bentuk jamak), artinya apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.[10]
Pokok ajaran yang terakhir adalah meremehkan logika formal. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan, hal ini dapat berupa pengalaman-pengalaman pribadi ataupun pengalaman mistis. Dengan demikian ini berarti bahwa pragmatisme dalam membuat suatu kesimpulan-kesimpulan tidak memiliki aturan-aturan yang tetap yang dapat dijadikan Standard atau ukuran dalam merumuskan suatu kesimpulan. Hukum kebenaran yang terus berjalan ini, maka nilai pertimbangannya adalah akal dan pemikirannya, sementara yang dijadikan sebagai tujuan adalah dalam perbuatannya atau aplikasinya. Proses yang terjadi pada akal dan pemikiran itu harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan situasinya. Sesungguhnya akal dan pemikiran itu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan.[11]
B. William James (1842-1910)
William James dilahirkan di New York, anak dari Henry James, William James belajar ilmu kedokteran di Havard Medical School pada tahun 1864 dan mendapat M.D-nya tahun 1869, tetapi William tidak tertarik ilmu pengobatan dan menyenangi fungsi alat-alat tubuh kemudian belajar psikologi di Jerman dan Prancis pada tahun 1870. Setelah lulus James mengajar di Universitas Havard, secara berturut-turut mengajar mata kuliah Anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat sampai tahun 1907. Tiga tahun kemudian 1910 James meninggal dunia. Karya-karya James yang terpenting adalah the principles of psychology (1890), the will to believe (1897), Human Immortality (1898), the varietes of religious experience (1902), dan pragmatism (1907).[12]
William James seorang ahli psikologi,[13] namun James tertarik untuk mempelajari filsafat. Ketertarikannya ini didasarkan kepada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan agama. Seorang ilmuwan mempelajari tentang pengobatan akan memikirkannya bagaimana akibat dari hasil pengobatan itu, selanjutnya berusaha menyeleksi dengan kemampuan emosi agamanya.[14]
Pada bidang agama William James menunjukkan karyanya yang berjudul the varieties of religious experience, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Pengungkapan yang dilakukan seseorang itu berlain-lainan, mungkin pada alam di bawah sadar yang dijumpai pada realitas kosmis yang lebih tinggi. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat meneguhkan hal tersebut secara mutlak. Bagi seseorang yang memiliki kepercayaan hal itu merupakan realitas kosmis yang tinggi, atau merupakan nilai kebenaran subyektif dan relatif. Ini berarti sepanjang kepercayaan itu memberikan kepada seseorang akan nilai hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan kasih sesama dan lain-lain. Sesungguhnya nilai agama/pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, apabila akibatnya sama-sama memberi kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.[15]
Dalam mempelajari filsafat pragmatisme yang dikenalkan oleh Charles Pierce; James berusaha menginterpretasikan dengan sebutan pragmatism: A new name for some old ways of thinking 1907. Kemudian James menulisnya dalam sebuah kritikan yang ditampakkan dalam karyanya the meaning of truth (1909).[16] Dalam memahami kebenaran James mendasarkan pemikirannya pada radical empiricism. Fakta ini dibuat karena adanya pengalaman manusia yang dilakukan terus menerus.[17] Menurut James tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal, Karena pengalaman manusia akan terus berjalan dan segala sesuatu yang dianggap benar, namun dalam tahap perkembangannya akan berubah. Ini disebabkan adanya koreksi dari pengalaman-pengalaman berikutnya. Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat jamak, artinya benar pada pengalaman-pengalaman khusus akan diubah pada pengalaman berikutnya.[18]
Nilai pertimbangan dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya yaitu kepada kerjanya, didasarkan pada keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan tersebut. Apabila pertimbangan itu benar, maka akan bermanfaat bagi pelakunya.[19] Oleh karena itu dalam melakukan pertimbangan harus benar-benar terseleksi agar memperoleh manfaat yang diharapkan.
Antara agama dengan filsafat pragmatis diharapkan memberikan rasa ketenangan dan kedamaian. Akibatnya ketika James tertarik kepada ilmu pengetahuan dan agama ini dimaksudkan, bahwa ketika James mempelajari studi pengobatan dengan tendensi materialisme maka berusaha mengecek dengan emosi agama (perasaan agama).[20]
Oleh karena itu James dalam mempelajari agama atau kepercayaan memberikan tiga opsi yang menjadi pilihan, yaitu : pertama ; living or died. Kedua, forced or avoidable dan ketiga momentous or trivial.[21] Opsi yang ditawarkan ini mencoba memberikan sebuah makna kehidupan ini bahwa menjalankan atau mengerjakan sesuatu harus senantiasa memberikan rasa ketenangan. Kenyataan hidup harus dijalani dan dihadapi dengan gigih serta dapat mengambil manfaat terutama bagi dirinya. Karena manusia selamanya tidak akan hidup terus tetapi suatu saat akan menghadapi kematian.
C. John Dewey (1859-1952)
John Dewey lahir di Baltimor, ia salah satu dari generasi pragmatisme yang menghasilkan pemikiran yang hebat setelah James. Dewey menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Colombia (1904- 1929).[22]
Bagi John Dewey filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau untuk mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan manusiawi. Oleh karena itu tidak heran jika John Dewey disebut sebagai tokoh filsafat yang mempunyai karakter yang dinamis yang diwarisi oleh Hegel, yaitu faham dualisme yang berlebih-lebihan seperti antara between mind and body : between necessary and contingent propositions, between cause and effect, between secular and transcendent, namun Dewey lebih suka membuat pandangan baru dengan memperkaya teori-teori dan memahami sebuah fungsi teori itu, dengan demikian Dewey adalah seorang yang anti reduksionis.[23]
Meskipun Dewey seorang pragmatis, tetapi Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalisme. Yang dimaksud Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam. Cara yang dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana pikiran fungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, mengenai konsekuensi - konsekuensi di masa depan. Salah satu kunci filsafat instrumentalia adalah pengalaman (experience). Filsafat harus berpijak pada pengalaman itu secara aktif dan kritis, agar filsafat dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.[24]
Filsafat Dewey yang dinamakan dengan Instrumentalisme ini memiliki tiga aspek sebagai alat dalam melahirkan penyelidikan. Di antaranya, pertama “temporalisme” yaitu terdapat gerak kemajuan nyata dalam waktu. Pemikiran kebenaran terus berjalan maju dengan melihat pengalaman yang terus berlangsung. Kedua “futuristic” yaitu mendorong untuk melihat masa depan tidak hari kemarin. Ketiga “milionarisme” bahwa kehidupan dunia ini dapat dibuat lebih baik dengan kemampuan diri manusia, barangkali pandangan yang demikian juga dianut oleh William James.[25]
Instrumentalisme yang dimaksud Dewey adalah ide besar sebagai alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis. Dewey berusaha mengembangkan teori-teori baru tanpa melakukan reduksi dari tokoh-tokoh pragmatis sebelumnya. Ini dilakukan untuk memperoleh bentuk baru dalam kajian filsafat pragmatis.
Oleh karena itu ketika membahas masalah agama atau kepercayaan, Dewey mengakui bahwa semua agama termasuk kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual. Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling hakiki dan sebagai doktrin yang tidak dapat diubah.[26] Di samping itu pengalaman agama seseorang merupakan petunjuk yang diyakini setiap individu.
Meskipun kajian agama menjadi masalah ketika dihadapkan pada sistemnya yaitu instrumentalia, namun bukan menjadi hambatan dalam menghadapi problem ini. Bagaimanapun juga dasar yang digunakan oleh instrumentalia adalah pengalaman. Ini jelas bahwa Dewey mengakui pengalaman seseorang meski itu bersifat mistik atau tidak dapat dibuktikan dengan logika, yang penting akibat dari pengalaman itu dapat memberikan nilai manfaat baginya yaitu ketenangan dan kedamaian.
D. Kolaborasi Pemikiran Tokoh Pragmatis
Filsafat pragmatis yang telah dipopulerkan oleh William James dan dikembangkan John Dewey mendapat sambutan hangat dari masyarakat Amerika. Pragmatisme mencoba mencari format baru yang mungkin berbeda dengan filsafat yang berkembang di Yunani maupun di Eropa, meskipun pada dasarnya filsafat ini juga melakukan reduksi terhadap filsafat Yunani, yang dari zaman ke zaman menampakkan gaungnya.
Fakta menunjukkan sumber dasar yang digunakan oleh William James dengan “radikal empirision”.[27] merupakan hasil reduksi dari pemikiran bangsa Yunani yaitu Aristoteles dengan filsafat empirismenya, yang tidak jauh berbeda dengan pegangan utama pragmatis yaitu logika pengamatan. Keduanya meneguhkan dengan fakta-fakta yang dapat dilihat. Tetapi pragmatis lebih mengutamakan akibat praktis yaitu manfaat bagi hidup praktis. Sedang empirisme (Aristoteles) tidak harus berakibat pada praktis.
Antara William James dan John Dewey, pada dasarnya berpangkal pada gagasan asal dengan tiga doktrin pragmatis, namun pada akhirnya bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, misalnya James dalam menilai kebebasan, tidak ada kebenaran mutlak atau berdiri sendiri, sebab pengalaman akan berjalan terus dan benar akan selalu berubah, yang ada adalah benar-benar. Semantara Dewey menilai kebenaran adalah dengan penyelidikan, dan yang benar adalah apa yang ada pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidiki. Karena kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap, tetapi pernyataan-pernyataan yang dianggap benar senantiasa dapat berubah. Kemiripan di antara keduanya tersebut terkadang tidak diakui, barangkali keduanya ingin menunjukkan karyanya yang harus dibedakan dan dihargai.
Pragmatis apabila dilihat dari sisi kelebihan atau keuntungan mempelajarinya adalah kemudahan hidup yang tidak perlu berangan-angan atau berpikir yang muluk-muluk, namun cukup berpikir yang praktis dengan mempelajari pengalaman-pengalaman sendiri yang telah dilalui. Pengalaman-pengalaman itu termasuk hal-hal yang bersifat pribadi berkaitan dengan mistis atau agama, yang penting memberikan manfaat kedamaian hati, keberanian hidup. Demikian William James mengungkapkan sebagai seorang yang beragama Protestan. Nampaknya James dan Dewey dalam memandang agama mempunyai pikiran yang sama yaitu mengakui adanya pengalaman mistik seseorang yang tidak dapat dibuktikan dengan fakta, tetapi yang penting pada kehidupan selanjutnya menjadi lebih baik. Karena mampu mengambil nilai manfaat praktis dari pengalaman mistis tersebut. Sebaliknya cara-cara James dan Dewey ini berbeda ketika mencari epistemologinya dalam kajian agama sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Sementara kelemahan yang terdapat pada filsafat pragmatisme adalah pada ketiga doktrin pragmatis yang perlu ditinjau lagi. Misalnya menolak intelektualitas yaitu rasionalitas sebagai sebuah metode. Persepsinya tidak ada planning atau rencana dalam pemikiran untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu, karena semuanya berjalan tanpa dikendalikan oleh akal. Pengalaman-pengalaman[28] adalah yang terpenting yang dapat memberikan nilai praktis hidup. Namun apa yang terjadi jika pengalaman-pengalaman yang muncul adalah pengalaman-pengalaman yang mengerikan (pembunuhan, perkosaan, kecelakaan, dan lain-lain), yang menimbulkan akibat trauma. Barangkali pengalaman-pengalaman inilah yang harus ditinggalkan karena berakibat pada kecemasan dan keragu-raguan dalam dirinya.
Ditolaknya rasionalisme ini didasari oleh background William sebagai seorang psikolog yang berusaha mengombinasikan antara psikologi dan filsafat. Usaha ini nampak pada karyanya the sentiment of rationality yang ditulis pada tahun 1879 memperlihatkan psikologi memasuki filsafat. Masalah utama yang dihadapi filosof adalah rasio atau pengertian sesuatu, maka tahun 1884 James menulis the dilemma of determinism yang memperlihatkan sensitivitasnya terhadap aspek moral dan metafisika Kemauan bebas manusia. Filsafat membutuhkan penjelasan dari psikologi bila menyangkut masalah agama sementara filsafat memerlukan tindakan nyata dalam masalah kehidupan, yaitu filsafat tentang sesuatu yang khusus dan kongkrit yang disebut dengan pragmatisme.[29]
Masalah agama atau kepercayaan bagi James merupakan pilihan yang ditawarkan dengan opsinya yaitu living or died, forced or avoidable dan momentous or trivial. Ini berbeda dengan Dewey bahwa baginya semua agama atau kepercayaan itu merupakan sebuah pengakuan kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Doktrin ini mampu membangkitkan keyakinan pada dirinya dalam menghadapi kehidupan. Makna agama bagi kedua tokoh ini dihayati untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian hidup.
II.III. KESIMPULAN
Pragmatisme merupakan simbol perkembangan filsafat diabad kontemporer yang mendapat tempat tersendiri khususnya masyarakat Amerika Serikat. Diakui atau tidak pragmatisme adalah bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dihargai oleh dunia intelektual, terbukti ilmu pragmatis ini mendapat tempat dan dipelajari di Perguruan Tinggi, sebagai bagian bahan kajian filsafat.
William James dan John Dewey adalah dua tokoh pragmatis yang mampu menunjukkan pada dunia intelektual tentang bentuk filsafat barunya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa format baru itu adalah kombinasi dari ilmu psikologi dengan filsafat terutama yang dipromotori oleh William James dengan membentuk ilmu praktis yang disebut dengan Pragmatisme. Di sisi lain John Dewey berusaha mengembangkan pragmatisme dengan metode barunya yang disebut Instrumentalisme, meskipun keduanya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, tetapi pada dasarnya keduanya bermuara dari satu asal yaitu dengan menggunakan logika pengamatan yang terformulasikan pada penolakan segala intelektual, absolutisme dan meremehkan logika formal.
Mempelajari filsafat tidak harus meninggalkan keyakinan agama, namun sebaliknya justru merupakan alat utama dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Agama bukan penghalang untuk mencapai sukses tapi lebih dari itu yakni sebagai motivasi untuk mencari kebenaran. Pengalaman agama merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang yang terkadang sulit dipercayai dengan logika. Oleh karena itu kedua tokoh pragmatisme ini mengakui adanya agama atau kepercayaan, meskipun sejarah pragmatis pada awalnya sangat anti metafisik spiritual tetapi akhirnya pada generasi kedua yaitu Hegelian telah mewarisi metafisik dari Jerman.[30] Refleksi pemikiran agama James dan John Dewey berusaha memberikan sebuah nilai yang menarik dan patut dikaji pada kehidupan umat beragama saat ini. Paling tidak hasil kolaborasinya itu dapat diambil, yaitu sebagai pengalaman mistik yang dapat memberikan ketenangan dan kedamaian hidup bagi penganut agama.
Penilaian terhadap pragmatisme bukan berarti mengkaburkan pemahaman makna praktis yang telah dipopulerkan oleh William James maupun John Dewey, tetapi karena rasa interest terhadap kajian ini, sekalipun penilaian sisi kelebihan dan kekurangan tersebut adalah masih sangat terbatas untuk didiskusikan, karena yang demikian itulah adalah bentuk kesempurnaan pemikiran yang dihasilkan manusia.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi pembenahan makalah kami.
Wallahulmuwaffiq ila aqwamitthoriq
DAFTAR PUSTAKA
Bronstein J. Daniel dkk, Basic Problems Of Philosophy, America : The United States Of America, 1964
Encyclopedia Britanica, The university of Chicago , 1952
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat- 2 Yogyakarta : Kanisius, 1980
James William, Pragmatism, Amerika : New American Library, 19740
Praja Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Bandung : Yayasan Piara, 1997
Popper R. Karl, The Logic Of Scientific Discovery, London : Routladge, 1980
Russel, Betrand History Of Western Philosophy , tt, 1945
Solomon Robert C., Kathleen M. Higgins, A short History Of Philosophy, New York : Oxford University Press, 1996
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990
Wibisono Koento, Misnal Munir, Makalah, Pemikiran Filsafat Barat: Sejarah Dan Peranannya Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
[1] Koento Wibisono, Misnal Munir, Makalah, Pemikiran Filsafat Barat : Sejarah Dan Peranannya Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan, hlm 24
[2] William James, Pragmatism ( Amerika : New American Library, 19740), hlm 438
[3] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung : Yayasan Piara, 1997), hlm 115
[4] William James, Ibid, hlm 43
[5] Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 130
[7] Juhaya S. Praja,Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Ibid, hlm 115
[8] Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 131
[9] William James, Ibid, hlm 47
[10] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat-2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm 132
[11] Ibid, hlm 132
[12] Ayah William James yaitu Henry James adalah seorang yang terkenal dan berkebudayaan tinggi dan pemikir kreatif. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), 190. Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 131
[13] Psikologi menurut James adalah suatu ilmu pengetahuan tentang gejala-gejala yang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam, dimana psikologi mempunyai hukum-hukum dan metode sendiri.lihat Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 131
[14] Betrand Russel, History Of Western Philosophy (tt, 1945), hlm 766
[15] Juhaya S. Praja, Ibid, hlm 116
[16] Lihat Encyclopedia Britanica ( The University Of Chiago, 1952), vi
[17] Robert C.Solomon, Kathleen M. Higgins, A short History Of Philosophy ( New York : Oxford University Press, 1996), hlm 259
[18] Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 132
[19] Juhaya S. Praja, Ibid, hlm 116
[20] Karl R. Popper, The Logic Of Scientific Discovery (London : Routladge, 1980), hlm 137
[21] Daniel J. Bronstein dkk, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), 488
[22] Juhaya, Opcit, hlm 116
[23] Robert C. Salomon, A Short History philosophy, Ibid, hlm 262
[24] Harun Hadiwiyono, Ibid, hlm 134
[25] Juhaya S. Praja, Ibid, hlm 117
[26] Daniel J. Bronstein, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), hlm 496
[27] Sebuah doktrin dari teori pragmatismenya dengan tiga syarat yang menjadi pegangan antara filsafat pragmatisme yaitu menolak intlektualisme, absolutisme dan meremehkan logika formal, lihat Betrand Russel History of Western Philosophy, Ibid 766. Radical empiristion dipublikasikan pada tahun 1904 dalam sebuah Essay yang disebut “Conscousness” tujuan utama menolak tentang hubungan subjek objek fundamental, Ibid, hlm 767
[28] Apa pengalaman itu? Cara terbaik menemukan jawabannya adalah dengan membedakan antara peristiwa (event) yang tidak dialami dan peristiwa yang dialami, kehujanan adalah pengalaman, tetapi hujan dimana berada adalah tidak meninggalkan sesuatu yang bukan pengalaman. Kerena ada adalah bukan pengalaman kecuali dimana ada itu tinggal.lihat Betrand Russel, History Of Western Philosophy, Ibid, 768
[29] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), hlm 192
[30] Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, A Short History Of Philosophy ( New York : Oxford University Press, 1966), hlm 261
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal
0 comments:
Post a Comment