I. PENDAHULUAN
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Dalam filsafat ada beberapa aliran salah satunya adalah aliran idealisme. Plato adalah generasi awal yang telah membangun prinsip-prinsip filosofi aliran idealis. George WE Hegel kemudian merumuskan aliran idealisme ini secara komprehensif ditinjau secara filosofi maupun sejarah. Tokoh-tokoh lain yang juga mendukung aliran idealisme antara lain Immanuel Kant, George Berkeley, Fichte, Hegel dan Schelling.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Aliran Idealisme
Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu.[1] Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis.[2] Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.[3]
Aliran Idealisme dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedangkan spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme berasal dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
B. Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
1. Plato
Tokoh aliran idealisme yang pertama kali adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Plato mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan6. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
2. Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724 – 1808) merupakan salah seorang tokoh masa pencerahan. Filsafat Immanuel Kant dikenal dengan Filsafat Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio dan juga empirisme. Menurut Kant semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Immanuel Kant membawa pengaruh besar di Jerman dan pemikiran nya menjadi landasan bagi J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831)
Kritik pada pengetahuan, sebagai sarana mencapai kesimpulan filosofis, ditekankan oleh Kant dan diterima oleh pengikutnya. Ada penekanan yang dilawankan dengan materi, yang pada akhirnya mengarah pada penegasan bahwa hanya pikiranlah yang eksis.[4]
Di dalam buku The Critique Of Pure Reason (edisi pertama, 1781) karangan terpenting Kant. Yang dimaksud Kant dalam critique adalah pembahasan kritik. Dalam pembahasannya ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas (pure reason). Yang dimaksudnya akal murni adalah akal bekerja secara logis, katakanlah akal yang di kepala. Ia dalam pembahansannya meletakkan akal murni itu di atas akal tidak murni; akal tidak murni itu adalah indera. Pure reson itu menghasilkan pengetahuan yang tidak melalui indera, bebas dari penginderaan. Untuk mendapatkan pengetahuan itu adalah, menurut Kant, pengetahuan yang diperoleh melalui akal murni itu kita peroleh dari watak dan struktur jiwa kita yang inheren (lihat Durant, 1959;265). Jadi, cara masuknya pengetahuan itu adalah melalui watak dan struktur jiwa yang ada pada kita.
Kita ingat John Locke; ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman (lihat solomon1981;108). Jadi, tidak ada lagi pengetahuan yang masuk lewat jalan lain. Kata Kant, pengetahuan tidak seluruhnya masuk lewat indera (Durant, 1959;265).
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori. Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?.
Menurut buku Criticue, pengalaman tidak lain adalah lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman mengatakan kepada kita apa-nya, bukan apa ia sesungguhnya. Jadi, pengalaman tidak tidak menunjukkan hakekat objek yang dialami. Oleh karena itu, pengalaman tidak dapat menghasilkan kebenaran umum.
Di sini Kant mulai memperlihatkan apa yang diperjuangkannya; kebenaran umum harus bebas dari pengalaman, harus jelas dan pasti dengan sendirnya (Durant, 1959;266). Maksudnya, pngetahuan yang umun, kebenaran yang umum, itu tetap benar, tidak peduli apa pengalaman kita tentang kemudian. Bahkan kebenaran umum itu benar sekalipun belum dialami. Inilah kebenaran yang a priori.[5]
Di dalam buku The Critique Of Pure Reason (edisi pertama, 1781) karangan terpenting Kant, tujuan karya ini adalah untuk membuktikan bahwa, kendati pengetahuan kita tak satupun yang mampu melampaui pengalaman. Menurutnya, bagian pengetahuan kita yang a priori (atau teoritik) tidak hanya meliputi logika, namun juga banyak hal yang tidak dimasukkan ke dalam logika atau disimpulkan darinya.
1) Ruang bukanlah empirik, yang diabstrakkan dari pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya dengan merujuk pada sesuatu yang ekternal, dan pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui kehadiran ruang.
2) Ruang merupkan kehadiran a priori mutlak, yang mendasari semua persepsi eksternal; karena kita tidak dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati kita dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak ada apa pun.
3) Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum mengenai hubungan benda secara umum, Karena yang ada hanyalah satu ruang, sedangkan yang biasa kita sebut “ruangan” hanyalah bagian-bagiannya, bukan keutuhannya.
4) Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tak terhingga, yang melingkupi seluruh bagian ruang.
Argument transcendental mengenai ruang berasal dari geometri. Kant berpendapat bahwa geometri Euclidan di kenal a priori, kendati ia bersifat sintesis, yakni tidak bisa ditarik dari logika semata. Bukti geometri, menurutnya, bergantung pada angka; kita dapat melihat, misalnya. Bahwa, jika dua garis lurus berpotongan pada sudut kanan, maka hanya garis lurus pada sudut kanan menuju keduanya yang bisa ditarik melalui titik perpotongannya.[6]
3. Johann Gottlieb Fichte
Johann Gottlieb Fichte adalah filosuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788 M. Berkenalan dengan filsafat Kant di Leipzig 1790 M. Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique of Relevation pada zaman Kant. Buku itu dipersembahkannya kepada Kant. Pada tahun 1810-1812 M ia menjadi rektor Universitas Berlin .
Johann Gottlieb Fichte (1762 –1814) merupakan filosof yang mengembangkan beberapa pemikiran dari Immanuel Kant. Menurut Fichte Fakta dasar dalam alam semesta adalah ego yang bebas atau roh yang bebas. Dengan demikian dunia merupakan ciptaan roh yang bebas.
Filsafatnya disebut Wissenschaftslehre (ajaran ilmu pengetahuan). Dengan melalui metoda deduktif fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir, mengiakan diri maka terlahirlah non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir dengan metoda : tese, anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya benda-benda.
Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat diterangkan sebagai berikut: manusia memandang obyek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindera obyek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan obyek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirannya.
Fichter menganjurkan supaya kita memenuhi tugas, dan hanya demi tugas. Tugaslah yang menjadi pendorong moral. Isi hukum moral ialah berbuatlah menurut kata hatimu. Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus berupa langkah menuju kesempurnaan spiritual.
4. Friedrich Wilhelm Joseph Schelling
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854) Juga merupakan filosof yang menganut aliran idealisme. Pemikiran Schelling tampak pada teorinya tentang yang mutlak mengenai alam. Pada dirinya yang mutlak adalah suatu kegiatan pengenalan yang terjadi terus-menerus yang bersifat kekal.
Friedrich Wilhem Joseph Schelling telah mencapai kematangan sebagai filosuf pada waktu itu ia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena . Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang.
Namun, continuitasnya tetap ada. Dia adalah filosuf idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel. Ia pernah menjadi kawan Fichte. Bersama Fichte dan Hegel, Schelling adalah idealis Jerman yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai antara Fichte dan Hegel.
Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral, Schelling membahas realitas lebih obyektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolut Hegel. Dalam pandang Schelling, realitas adalah identiik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis.
Pada Schelling, juga pada Hegel, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
Schelling menyebut proses ini identitas absolut, Hegel menyebutkan ideal. Alam semesta ini, katanya tidak pernah dibayangkan sebagai sistem raisional. Di sini ia memperlihatkan bahwa susunan rasional adalah kontruks hipotesis yang memerlukan pembuktian nyata, baik pada alam maupun pada sejarah.
Reese (1980:511) menyatakan bahwa filsafat Schelling berkembang melalui lima tahap:
1. Idealisme subyektif
2. Filsafat alam
3. Idealisme transcendental atau idealisme obyektif
4. Filsafat identitas
5. Filsafat positif
Dalam filsafatnya ia mengatakan, jikalau kita memikirkan pengetahuan kita (obyek pemikiran) Tentang manusia dan alam, Schelling menggambarkan bahwa ketika orang mengadakan penyelidikan ilmiah tentang alam, subyektif (jiwa, roh) mengajukan pertanyaan pada alam, sedangkan alam dipaksa untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Bahwa alam dapat menjawab pertanyaan itu, ini berarti bahwa alam itu sendiri bersifat akal atau idea. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa alam tidak lain adalah roh/jiwa yang tampak, sedang roh adalah alam yang tak tapak.
Pandangam Schelling tentang alam diperkuat dengan teorinya tentang Aku Yang Mutlak. Bahwa aku mutlak mengobyektifkan dirinya dalam alam yang ideal, jadi alam sebagai yang diciptakan merupakan penampakan dari alam yang menciptakan.
Filasafat Schelling dapat diringkaskan sebagai berikut ini: Bahwa Yang Mutlak atau Rasio Mutlak adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif.
Dengan mengikuti logika-tiga Fichte (tesis-anti tesis sintesis), ia menerapkannya pada alam dan pada sejarah. Dari sini Schelling membangun tiga tahap sejarah:
a. Masa Primitif yang ditandai oleh dominasi nasib
b. Masa Romawi yang ditandai oleh reaksi aktif manusia terhadap nasib, ini masih berlangsung hingga sekarang, dan
c. Masa datang yang akan merupakan sintesis dua masa itu yang akan terjadi secara seimbang dalam kehidupan; disana yang aktual yang ideal akan bersintesis.
5. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dikenal sebagai filosof yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Menurut hegel yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri di dalam alam, dengan maksud agar dapat sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh adalah ide atau pikiran. Pernyataan Hegel yang terkenal adalah semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat real. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Hegel Mengelompokkan idealisme menjadi tiga bagian yaitu :
1) Filsafat idealisme Subyektif, yakni idealisme yang berpangkal kepada subyek.
2) Filsafat idealisme obyektif, yakni idealisme yang memandang bahwa ego berada di dalam alam, dan alam berada di dalam ego
3) Filsafat idealisme mutlak adalah idealismeyang merupakan sintese dari idelaisme subyektif dan idealisme obyektif.[7]
Idealisme Absolut Hegel
Dari perspektif umum sejarah filsafat, filsafat Hegel adalah usaha untuk merehabilitasi metafisika usai dikotomi Kantian yang memisahkan antara noumena dan fenomena. Ia berusaha untuk mengetahui yang absolut dan tak terbatas melalui nalar murni. Hegel, dalam bukunya Encyclopedia of Philosophical Science, memosisikan filsafatnya sebagai respon terhadap tiga tren filosofis: rasionalisme metafisika kuno, filsafat kritis Kant, dan filsafat emosi Jacobi. Dia menyatakan bahwa sementara rasionalisme kuno tepat dalam mempostulasikan pengetahuan rasional tentang yang mutlak, ia tidak memiliki metodologi dialektika yang tepat untuk mencapai pengetahuan itu dan terjebak model pembuktian deduktif kuno. Sedangkan Kant, sekalipun tepat dalam kritiknya terhadap model pembuktian ini, mengambil kesimpulan terlalu jauh sehingga dia menyimpulkan ketidakmungkinan pengetahuan rasional apapun tentang yang mutlak. Di sisi lain, penentangan Jacobi dan para filosof Romantik terhadap pembatasan Kantian terhadap pengetahuan adalah tepat, akan tetapi solusi mereka—dengan semata-mata bergantung kepada intuisi dan perasaan estetika atau relijius—tidak dapat diterima. Dengan mengafirmasi pengetahuan rasional tentang yang absolut, mengeyampingkan model pembuktian kuno, dan tidak menjadikan intuisi sebagai sarana mencapai pengetahuan absolut, Hegel menawarkan solusinya sendiri yang disebut dialektika.
Menurut Hegel, berkebalikan dari kaum empiris, konsep lebih penting daripada objek dan ide-ide mental. Idealisme Hegel bersifat metafisik, hal ini terlihat dari tesis dasarnya yang menyatakan bahwa segala sesuatu dalam alam dan sejarah adalah manifestasi dari ide absolut. Ide di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang berada dalam pikiran manusia. Tentang idealisme dalam filsafat, Hegel menulis ”Idealisme dalam filsafat tidak lain adalah pengakuan bahwa yang terbatas tidaklah memiliki eksistensi yang sebenarnya.”
Bagi Hegel yang terbatas adalah sesuatu yang berhenti meng-ada (ceases to be). Dengan demikian, idealisme bagi Hegel tidak hanya terbatas pada objek persepsi saja, sebagai dipahami pendahulunya, tapi mencakup semua yang terbatas. Dia menyimpulkan bahwa wujud yang terbatas adalah wujud yang tergantung dan, karenanya, tidak sepenuhnya nyata. Wujud yang terbatas bergantung kepada yang tak terbatas yang oleh Hegel disebut idea. Dia menulis ”Setiap wujud individual merupakan satu aspek dari idea….Wujud individu dalam dirinya sendiri tidaklah bersesuaian dengan konsep. Limitasi itulah yang kemudian mewujud dalam keterbatasan dan kehancuran individu tersebut”. Yang terbatas, menurut idealisme Hegel, bergantung secara eksistensial ontologis kepada idea. Konsepsi idea sebagai gantungan ontologis segala yang terbatas mengasumsikan bahwa realitas pada dasarnya bersifat konseptual, yakni diatur atas konsep tertentu. Yang sebenarnya eksis, menurut Hegel, adalah keseluruhan (the whole), yang dia sebut idea. Dia menyatakan bahwa ”Yang Sejati adalah keseluruhan. Tapi keseluruhan tidak lain merupakan esensi yang mewujud-sempurnakan dirinya melalui perkembangan”.
Ide absolut yang menjadi gantungan segala sesuatu dipahami oleh Hegel secara teleologis, yakni bahwa ia adalah tujuan tunggal—yang mewujudkan dan mengatur dirinya sendiri—dari segala sesuatu. Bahwa segala sesuat hanya merupakan manifestasi dari ide absolut ini berarti bahwa segala sesuatu bergerak dan meng-ada untuk tujuan tunggal tersebut. Ada tiga hal yang mendasari tesis Hegel ini. Yang pertama adalah monisme yang menyatakan bahwa semesta tidak terdiri dari substansi yang beragam dan jamak, alih-alih, ia menyatakan bahwa semesta hanya terdiri dari substansi tunggal. Bagi Hegel, hal-hal yang bersifat fisik dan mental hanyalah penampakan dari substansi universal yang tunggal. Monisme Hegel tidak berarti bahwa realitas adalah ke-satu-an yang murni; ketunggalan yang tidak terbedakan tanpa perbedaan dalam dirinya sendiri. Idealisme absolute, bagi Hegel, haruslah mampu menjelaskan kenyataan keragaman benda-benda.
Hal kedua yang mendasari tesis Hegel adalah organisisme yang menyatakan bahwa realitas adalah keseluruhan yang hidup (living whole) or terbentuk dalam satu proses hidup tunggal. Menurutnya, proses ini mengalami tiga tahap: kesatuan yang belum sempurna (yang melahirkan identitas), diferensiasi (yang menimbulkan perbedaan), dan kesatuan dari kedua tahapan (yang mewujud dalam identitas dalam perbedaan). Ide tentang organisime ini menyiratkan perkembangan dalam idealisme absolut Hegel berarti yang idea mengaktualisasi diri. Konsep perkembangan yang secara umum dipahami dalam konteks ruang dan waktu, direkonseptualisasi oleh Hegel dengan terma logika yang didasarkan pada konsep negasi. Negasi digunakan untuk mengkonseptualisasi mekanisme perkembangan. Kerangka negasi ini yang kemudian menjadi konsep kunci yang digunakan Hegel untuk menjelaskan realitas sebagai keseluruhan yang berkembang (developing whole).
Hal ketiga adalah rasionalisme yang menyatakan bahwa proses hidup ini memiliki tujuan atau sesuai dengan idea yang dipahami bukan sebagai sesuatu yang bersifat mental atau subjektif manusiawi. Hegel memahami idea sebagai arketip yang memanifestasikan dirinya dalam yang subjektif dan objektif; mental dan material.
Dalam karya besarnya, The Encyclopedia of the Philosophical Sciences, Hegel membagi sistem filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika, filsafat alam, dan filsafat roh. Dalam logika—bukan dalam pengertian tradisional—dia menjelaskan struktur kategorial idea yang mendasari segala yang ada. Dua bagian yang lain merupakan penjelasan dari struktur konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam dan roh; dimana keduanya adalah area manifestasi idea.
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masing-masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya.
Dalam kaitannya dengan agama, Hegel meyakini bahwa filsafat adalah pemahaman rasional terhadap keimanan keagamaan. Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh filsafat dipahami pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau pemikiran sistematis. Konsep Hegel tentang yang absolut dalam batas tertentu setara dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional. Bahkan Hegel sering merujuk pada yang absolut dengan kata Tuhan. Beberapa segi konsep Hegel juga mendukung konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti konsep teleologinya yang merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama Kristen. Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin trinitas, yang baginya sang bapa merepresentasikan momen kesatuan, sang anak momen perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan dalam perbedaan. Tapi dalam beberapa hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama Kristen. Misalnya, dia menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah. Baginya, yang absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud hanya di dalam dan melalui keduanya.[8]
III. KESIMPULAN
Aliran Idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripenjelmaan rohani.
Alasan aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah rohani, spirit atau sebanginya adalah:
1) Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan saja.
2) Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya
3) Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Materi bagi aliran idealisme sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah sebagai ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai manusai perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita dan cita-cita itu adalah rohani. Karenanya aliran ini dapat disebut aliran idealisme dan dapat dapat juga disebut aliran spiritualisme.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar.
Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi (antithesis) Fase kedua, dan akhirnya timbul fase ketiga(sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antithesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antithesis baru, dan menghasilkan sintesis baru. Dan sintesis baru ini segera pula menjadi tesis baru lagi, dan seterusnya
IV. PENUTUP
Demikian yang dapat kami sampaikan. Sedikit banyak semoga bisa menambah wawasan keilmuan kita. Kurang lebihnya mohon maaf, kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan makalah kami.
Wallahulmuwaffiq ila aqwamitthoriq
DAFTAR PUSTAKA
Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford : Blackwell Publishing, 2004)
Wilbur Long, Idealism, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philosophy, (New York : Philosophical Library, tt)
Bertrand Russell., Sejarah Filasalfat Barat. LTD., London , 1946
Ach. Tafsir. Filsafat Umum PT. Remaja Rosdakarya. Bandung , 2003
Http://zoel.web.id/2009/12/makalah-aliran-idealisme
Http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/idealisme
[1] Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford : Blackwell Publishing, 2004), hlm. 322
[2] Wilbur Long, Idealism, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philosophy, (New York : Philosophical Library, tt), hlm 136
[3] Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, op. cit., hlm. 323
[4] Bertrand Russell., Sejarah Filasalfat Barat. LTD., London , 1946. Hal. 916
[5] Ach. Tafsir. Filsafat Umum PT. Remaja Rosdakarya. Bandung , hal. 147. Cet. I. 2003. Hal 160
[6] Bertrand Russell, Ibid, hlm 931
[7] http://zoel.web.id/2009/12/makalah-aliran-idealisme/
[8] http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/idealisme/
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal