Suka Filsafat? Masuk Kemari

MAU DOLAR GRATIS? masuk sini

AJARAN SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES




I. PENDAHULUAN
Perkembangan pemikiran pada era Yunani klasik berawal dari keprihatinan moral Socrates lalu berkembang dengan tumbuhnya gagasan-gagasan filosofis pada filsuf-filsuf sesudahnya, khususnya Plato dan Aristoteles. Pengungkapan kenyataan ini tidak hanya bersifat historis belaka, namun ada hikmah atau nilai yang berharga yang dapat kita petik. Pertama, munculnya gagasan-gagasan filosofis yang besar-besar seperti yang dicetuskan oleh, dalam kasus ini, Plato dan Aristoteles, tidak turun dari langit secara tiba-tiba (taken for granted), melainkan hasil dari pergulatan dan pergumulan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Kedua, kita melihat bahwa prinsip-prinsip etika dan logika berasal dari sumber yang sama; dan hal ini menunjukkan bahwa nilai moral terkait erat dengan pengetahuan; bahwa nilai subyek terkait erat dengan fakta obyek; bahwa hati terkait erat dengan nalar.[1]
II. PEMBAHASAN
A. SOCRATES
Socrates lahir di Athena pada tahun 470 sebelum Masehi. Bapaknya tukang pembuat patung, ibunya bidan. Pada permulaannya Socrates mau menuruti jejak bapaknya, menjadi tukang pembuat patung pula. Tetapi akhirnya ia berganti haluan. Dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia.
Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sufisme di Athena. Pada hari tuanya Socrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang.
Socrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut kata teman-temannya: Socrates demikian adilnya, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang buruk baik.
1) Metode Socrates
Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malahan tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Dalam mencari kebenaran, ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak.
Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap daripada sesuatunya. Sebab itu ia selalu bertanya: apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang “apa itu” harus lebih dahulu daripada “apa sebab”. Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan “apa itu”. Oleh karena jawab tentang “apa itu” harus dicari dengan tanya jawab yang mungkin meningkat dan mendalam, maka Socrates diakui pula—sejak keterangan Aristoteles—sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis. Dalam berjuang mencari kebenaran yang umum lakunya, yaitu mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya, terletak seluruh filosofinya.
Oleh karena Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkutpaut. Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya arti induksi sekarang. Menurut induksi paham yang sekarang penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang satu-satunya dan dari situ—dengan mengumpulkan—dibentuk pengertian umum lakunya. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari lawannya bersoal jawab, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam vaknya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang “berani” “indah” dan lain sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian tidak mencukupi, maka dari ujian itu pengertian dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara begitu diuji pula sekali lagi untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikianlah seterusnya. Contoh Socrates bekerja itu dapat diketahui dari dialog-dialog Plato yang mula-mula, di mana caranya berfilosofi masih dekat sekali kepada Socrates.
Begitulah cara Socrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai kepada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang umum lakunya. Pengertian menurut paham Socrates sama dengan apa yang disebut Kant: prinsip regulative, dasar menyusun. Dengan jalan begitu, hasil yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subyektif, seperti yang diajarkan oleh kaum sofis, melainkan umum sifatnya, berlaku untuk selama-lamanya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu Socrates membangunkan dalam jiwa lawannya bersoal jawab keyakinan, bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja sebagai ayam panggang terlompat ke dalam mulut yang ternganga, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh segala barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Sebab itu tepat sekali Socrates mengatakan: budi ialah tahu. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan. Manusia yang dirusak oleh ajaran sufisme mau dibentuk kembali.
Salah satu catatan Plato yang terkenal adalah Dialogue, yang isinya berupa percakapan antara dua orang pria tentang berbagai topik filsafat. Socrates percaya bahwa manusia ada untuk suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar"Kenalilah dirimu". memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya. Sebagai seorang pengajar, Socrates dikenang karena keahliannya dalam berbicara dan kepandaian pemikirannya. Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang. Pepatahnya yang terkenal:
Socrates percaya bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang yang bijak, yang dipersiapkan dengan baik, dan mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat. Ia juga dikenang karena menjelaskan gagasan sistematis bagi pembelajaran mengenai keseimbangan alami lingkungan, yang kemudian akan mengarah pada perkembangan metode ilmu pengetahuan.
2) Etik Socrates
Budi ialah tahu, kata Socrates. Inilah inti sari daripada etiknya. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etiknya itu kelanjutan daripada metodenya. Induksi dan definisi menuju kepada pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Dari mengetahui beserta keinsafan moril tidak boleh tidak mesti timbul budi.
Dari ucapan itu nyatalah, bahwa ajaran etik Socrates intelektual sifatnya. Selain dari itu juga rasionil. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu, bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah kurban daripada kekhilafananya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.
Apa itu “kesenangan hidup”? Ini tak pernah dipersoalkan oleh Socrates, sehingga murid-muridnya kemudian memberikan pendapat mereka sendiri-sendiri, yang satu bertentangan dengan yang lain.
Menurut Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etik yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim. Socrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangnya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya daimonion. Bukan dia saja yang begitu, katanya. Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukkan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof yang terutama seluruh masa.[2]
B. PLATO ( 427 – 347 SM)
Plato dilahirkan di Athena dari keluarga terkemuka, dari kalangan politisi. Pada mulanya ia ingin bekerja sebagai seorang politikus, namun ada kekacauan di negaranya, setelah kematian gurunya Socrates hal itu telah memadamakan ambisinya untuk menjadi seorang politikus, kemudian ia beralih ke filsafat sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan bangsanya, ajaran socrates sangat berpengaruh pada dirinya.
1) Ajaran-ajaran Plato tentang Idea
Ajaran tentang Idea – Idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Idea yang dimaksudkan Plato di sini bukanlah suatu gagasan yang terdapat dalam pemikiran saja yang bersifat subyektif belaka. Bagi Plato Idea merupakan sesuatu yang obyektif, ada idea-idea, terlepas dari subyek yang berfikir, Idea-idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita, tidak tergantung pada pemikiran, tetapi sebaliknya pemikiranlah yang tergantung pada idea-idea. Justru karena adanya idea-idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada idea-idea.
2) Etika Plato
Etik Plato bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya adalah mencapai budi baik. Budi ialah tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Sebab itu sempurnakanlah pengetahuan dengan pengertian.
Tujuan hidup ialah mencapai kesenganan hidup. Yang dimaksud dengan kesenangan hidup itu bukanlah memuaskan hawa nafsu didunia ini. Kesenangan hidup diperoleh dengan pengetahuan. Yang tepat tentang nilai barang-barang yang dituju.
Etik Plato bersendi pada ajarannya tentang idea. Dualisme dunia dalam teori pengetahuan lalu di teruskan dalam praktik hidup. Oleh karena kemauan seseorang bergantung pada pendapatnya, nilai kemauannya itu ditentukan oleh pendapatnya. Dari pengetahuan yang sebenarnya yang dicapai dengan dialektika timbul budi yang lebih tinggi dari pada yang dibawakan oleh pengetahuan dari pandangan. Menurut Plato ada dua macam budi.
Pertama, budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari.
3) Negara Ideal
Plato hidup dalam masa Athena menempuh jalan turun setelah mencapai kedudukan yang gilang gemilang dalam segala lapangan, pertentangan antara kaya dan miskin sangat menyolok mata. Karena itu pertentangan politik juga hebat. Menurut Plato nasib Athena hanya dapat tertolong dengan mengubah dasar sama sekali hidup rakyat dan sistem pemerintahan. Itulah alasan baginya untuk menciptakan bentuk suatu negara yang ideal.
Peraturan yang menjadi dasar untuk mengurus kepertingan umum kata Plato tidak boleh diputus oleh kemauan atau pendapat orang seorang atau oleh rakyat seluruhnya, melainkan ditentukan oleh suatu ajaran. Yang berdasarkan pengetahuan dengan pengertian.dari ajaran itu datanglah keyakinan, bahwa pemerintah harus dipimpin oleh idea tertinggi, yaitu idea kebaikan.kemauan untuk melaksanakan itu tergantung kepada budi. Tujuan pemerintah yang benar adalah mendidik warga warganya mempunyai budi. Plato membagi kedudukan penduduk menajdi tiga golongan yakni :
Golongan yang dibawah ialah golongan rakyat jelata, yang berupakan petani, pekerja, tukang dan saudagar. Kerja mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari bagi ketiga-tiga golongan.
Golongan yang tengah ialah golongan penjaga atau “pembantu” dalam urusan negara. Terhadap keluar tugas mereka mempertahankan negara dari serangan musuh. Tugas kedalam menjamin supaya undang – undang dipatuhi rakyat.
Golongan atas ialah kelas perintah atau filosof. Mereka terpilih dari paling cakap dan yang terbaik dari kelas penjaga, setelah menempuh pendidikan dan pelatihan special untuk itu. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Mereka memangku jabatan tertinggi.
C. ARISTOTELES ( 384 – 322 SM.)
Aristoteles lahir di stageira pada semenanjung kalkidike di Trasia (Balkan) Bapaknya bernama Machaon adalah seorang dokter istana pada raja Macedonia Amyntas II. Sejak kecil mendapat asuhan dari bapaknya sendiri, ia mendapat pelajaran teknik membedah, karena itu perhatiannya banyak tertumpu pada ilmu alam, terutama ilmu biologi.
Setelah bapaknya meninggal ia pergi ke Athena belajar pada Plato di Akademia. Selama 20 tahun menjadi murid Plato, pertama kali ia menyusun buku Bibliotik yang pertama terdapat di Athena.
1) Karya-karya Aristoteles
Berbagai macam cabang ilmu pengetahuan yang menjadi karya Aristoteles bila diperinci terdiri dari delapan cabang yang meliputi Logika, Filsafat Alam, Psikologi, Biologi, Metafisika, Etika Politik, Ekonomi, Retorika dan Poetika.
2) Ajaran – ajaran Aristoteles.
a. Logika
Aristoteles terkenal sebagai bapak logika, tapi tidaklah berarti bahwa sebelumnya tidak ada logika. Aristoteleslah orang pertama yang memberikan uraian secara sistematis tentang Logika.
Logika adalah ilmu yang menuntun manusia untuk berfikir yang benar dan bermetode. Dengan kata lain logika adalah suatu cara berfikir yang secara ilmiah yang membicarakan bentuk-bentuk fikiran itu sendiri yang terdiri dari pengertian, pertimbangan dan penalaran serta hukum-hukum yang menguasai fikiran tersebut.
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga bagian;
· Ilmu pengetahuan praktis, yang meliputi etika dan politik
· Ilmu pengetahuan produktif, yaitu teknik dan seni.
· Ilmu pengetahuan teoritis yang meliputi phisika, matematika dan filsafat.
Dalam hal ini Aristoteles tidak memasukkan Logika sebagai cabang ilmu pengetahuan, melainkan hanya suatu alat agar kita dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan.
b. Metafisika
Dalam uraian ini Aristoteles mengkritik ajaran gurunya tentang idea-idea. Menurut Aristoteles ; yang sungguh ada itu bukanlah yang umum melainkan yang khusus, satu persatu. Bukanlah manusia pada umumnya yang ada, melainkan manusia ini, itu, Anas, dan lain-lain. Semuanya ada, jadi Aristoteles bertentangan dengan gurunya Plato yang mengatakan “bahwa semua yang nampak hanyalah merupakan bayangan semata”.
Menurut Aristoteles, tidak ada idea-idea yang umum serta merupakan realita yang sebenarnya. Dunia idea di ingkari oleh Aristoteles sebagai dunia realitas, karena tidak dapat di buktikan. Jadi Aristoteles berpangkal pada yang kongkrit saja, yang satu persatu dan bermacam-macam, yang berubah, itulah yang merupakan realitas sebenarnya.
c. Abstraksi
Bagaimana budi dapat mencapai pengetahuan yang umum itu sedangkan hal-hal yang menjadi obyeknya tidak umum.
Menurut Aristoteles ; obyek yang diketahui itu memang kongkrit dan satu persatu, jadi tidak umum. Yang demikian itu ditangkap oleh indera dan indera mengenalnya. Pengetahuan indera yang macam-macam itu dapat diolah oleh manusia (budi). Manusia itu menanggalkan yang bermacam-macam dan tidak sama, walaupun tidak di ingkari. Yang dipandang hanya yang sama saja dalam permacaman itu. Pengetahuan yang satu dalam macamnya oleh Aristoteles dinamai idea atau pengertian.
Jadi Aristoteles tidak mengingkari dunia pengalaman, sedangkan idea juga dihargainya serta diterangkan bagaimana pula mencapainya dengan berpangkal pada realitas yang bermacam-macam. Maka selayaknya aliran Aristoteles disebut “Realisme”.
d. Politik
Tujuan negara.
Aristoteles dalam bukunya menyatakan “bahwa manusia menurut kodratnya merupakan “Zoion Politikon”atau mahluk sosial yang hidup dalam negara.
Tujuan negara adalah memungkinkan warga negaranya hidup denga baik dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, keluarga di dalam suatu negara, hubungan antar negara tetangga semua baik.
Rumah Tangga.
Aristoteles mengkritik pendapat Plato, bahwa para penjaga tidak boleh hidup berkeluarga, dan juga Aristoteles tidak setuju dilarangnya mempunyai milik pribadi.
Menurut Aristoteles, untuk hidup menurut keutamaan manusia perlu keluarga dan butuh milik pribadi. Tetapi kekayaan tidak boleh di tambah dengan sembarang cara.
Susunan negara yang paling baik.
Negara yang paling baik ialah negara yang diarahkan buat kepentingan umum. Susunan negara yang paling baik menurut Aristoteles ialah “Politeia”. Poiteia adalah demokrasi moderat atau demokrasi yang mempunyai undang-undang dasar.
e. E t i k a
Dalam karya Aristoteles “ Ethika Nicomachea” mengatakan ; dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia selalu mencari sesuatu yang baik baginya. Dari sekian banyak tujuan yang ingin dicapai manusia, maka tujuan yang tertinggi dan terakhir dari manusia adalah kebahagiaan. Tugas Etika ialah mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan itu.
Menurut Aristoteles; manusia hanya disebut bahagia jika ia menjalankan aktivitasnya dengan baik. Dengan kata lain agar manusia berbahagia ia harus menjalankan aktivitasnya dengan baik.[3]
III. KESIMPULAN
Socrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Demikian makal kami sampaikan, krtik dan saran kami harapkan dari semua pihak. Kurang lebihnya mohon maaf. Wallahulmuwaffiq Ila Aqwamitthoriq.



[1] Http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=292/ dikutip pada hari minggu, tanggal 18 April 2010
[2] http://arunadarmaja.blogspot.com/2010/01/pemikiran-socrates-plato-aristoteles.html/ dikutip pada hari minggu, tanggal 18 April 2010
[3] Http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/filsafat-klasik-plato-aristoteles-dan-plotinos/dikutip pada hari minggu, tanggal 18 April 2010



Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal

PLATO Yang Baik Yang Trasenden, Idea Sebagai Dasar Moral




I. PENDAHULUAN
Indonesia, sebuah negara yang dikenal luas sebagai negeri jamrud katulistiwa yang santun, toleran dan ramah. Kini, adagium itu semakim memudar sejalan dengan goyahnya adat ketimuran dan seiring dengan membiaknya tindak kekerasan di negeri kita tercinta. Dari, oleh dan untuk siapa kekerasan itu terjadi tak pernah ada dalam alam logika kita sebagai umat yang memegang teguh cinta dan kasih sayang berdasarkan sabda: "cintailah semua orang yang ada di muka bumi, niscaya penduduk langit akan mencintaimu".
Kaum sofis, sekelompok filsuf Yunani jauh sebelum Muhammad saw lahir, bersikeras bahwa etika dan politik tidak bisa dipisahkan. Bagi mereka, etika dan politik adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama. Bahkan Socrates, guru besar Plato, seteru abadi kaum sofis yang dalam beberapa hal sering berseberangan, kali ini mengamini mereka. Lebih jauh Socrates berpendapat bahwa etika adalah sarana dalam menggapai sofos (hikmah), bahkan ia sendiri adalah the goal, tujuan yang didamba. Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal.[1]
II. POKOK PEMBAHASAN
Sebagaimana Etika dan Politik, selalu berdampingan dalam adanya, maka di sini pemakalah akan menyampaikan tentang beberapa pemikiran Plato terkait dengan tiga hal tersebut, serta biografi kehidupan Plato yang melatarbelakangi pemikirannya. Yang kami rumuskan dalam pokok pembahasan makalah ini
1. Bagaimana Biografi Plato?
2. Apa Yang Dimaksud Tiga Ajaran Pokok Plato; Tentang Idea, Jiwa Dan Proses Mengenal?
3. Bagaimana Pemikirannya Tentang Etika Dan Politik?
III. PEMBAHASAN
1. Biografi Plato
Filosof Yunani kuno Plato tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat.
Plato dilahirkan dari kalangan famili Athena kenamaan sekitar tahun 427 SM. Di masa remaja dia berkenalan dengan filosof kesohor Socrates yang jadi guru sekaligus sahabatnya. Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, dia diseret ke pengadilan dengan tuduhan tak berdasar berbuat brengsek dan merusak akhlak angkatan muda Athena. Socrates dikutuk, dihukum mati. Pelaksanaan hukum mati Socrates --yang disebut Plato "orang terbijaksana, terjujur, terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal"-- membikin Plato benci kepada pemerintahan demokratis.
Tak lama sesudah Socrates mati, Plato pergi meninggalkan Athena dan selama sepuluh-duabelas tahun mengembara ke mana kaki membawa.
Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup mata pada usia tujuh puluh.[2]
2. Tentang Idea, Jiwa Dan Proses Mengenal
Di satu sisi Plato masih mempercayai beberapa mitos yang digunakan olehnya untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal adiduniawi. Dan tentunya ia banyak dipengaruhi oleh gurunya, Sokrates dalam pemikirannya.
a. Plato Tentang Idea-Idea
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: “ontos on“, “benar-benar ada”), manakah yang semu (Yunani: “doza“, “perkiraan” atau “maya”)? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia.
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar “Wid” dengan arti “melihat” dengan mata kepala (Latin: “Videra“, Inggris: “Vision“) maupun menatap dengan mata batin sampai “mengetahui” (Jerman: “Wissen“; Inggris: “Wisdom“). Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di “dunia idea-idea” atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana - maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi; umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu “jatuh” dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam “penjara” yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau “bayangan” dari idea-idea yang “semula” pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang “dahulu kala” ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
b. Plato Tentang Jiwa Dan Proses Mengenal
Plato menganggap bahwa jiwa merupakan pusat atau inti sari kepribadian manusia, dan pandangannya ini dipengaruhi oleh sokrates, Orfisme dan mazhab Pythagorean.
Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea, dengan itu ia menuruti prinsip-prinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat. Jiwa memang mengenal idea-idea, maka atas dasar prinsip tadi disimpulkan bahwa jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan idea-idea, jadi sifatnya abadi dan tidak berubah.
Plato mengatakan bahwa dengan kita mengenal sesuatu benda atau apa yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah proses pengingatan sebab menurutnya setiap manusia sudah mempunyai penegathuan yang dibawanya pada waktu berada di dunia idea, dan ketika manusia masuk ke dalam dunia realitas jasmani pengetahuan yang sudah ada itu hanya tinggal diingatkan saja maka Plato menganggap juga seorang guru adalah mengingatkan muridnya tentang pengetahuan yang sebetulnya sudah lama mereka miliki.
3. Etika Dan Politik
Etika Plato, yang didasarkan pada etika Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata, yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain: melaksanakan “hadirnya” idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias, Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.[3]
Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengaatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kdratnya hidup dalam polis atau negara.[4]
Manusia secara perseorangan adalah tidak memadahi dalam dirinya sendiri. Manusia berkumpul dalam komunitas, saling membantu untuk memuaskan kebutuhan. Mereka secara bebas saling membantu demi keuntungan bersama. Komunitas manusia yang menetap dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka serta untuk meningkatkan kesejahteraan umum adalah yang yang kita sebut sebgai polis.[5]
Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhan pun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini.
Dalam menghadapi hal ini maka disetiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus dididik khusus tidak seperti atlet Yunani kuno, Ia harus mempelajari, senam yang lebih umum dan keras dan sebaiknya dilakukan paa usia 18 – 20 tahun, Lalau dari sini diseleksi lagi untuk dijadikan calon pemimpin politik, dan untuk membentuk pemimpin in mereka harus belajar filsafat hingga usia 30 tahun, tujuan belajar filsafat ini untuk melatih mereka dalam mencari kebenaran. Dari sini diseleksi lagi dan mereka yang lulus seleksi akan mempelajari filsafat dan dialektika secara lebih intensif selama 5 tahun. Dan jika dalam pendidikan in berhasil maka selama 15 tahun ia menduduki beberapa jabatan negara yang tujuannya agar mereka tahu bagaimana pekerjaan negara tersebut (magang). Dan pada usia 50 tahun baru mereka siap menjadi seorang pemimpin.
Ada tiga golongan dalam negara yang baik, yaitu pertama, Golongan penjaga yang tidak lain adalah para filusuf yang sudah mengetahui “yang baik” dan kepemimpinan dipercayakan pada mereka. Kedua, Pembantu atau prajurit. Dan ketiga, Golongan pekerja atau petani yang menanggung kehidupan ekonomi bagi seluruh polis.
Plato tidak begitu mementingkan adanya undang-undang dasar yang bersifat umum, sebab menurutnya keadaan itu terus berubah-ubah dan peraturan itu sulit disama ratakan itu semua tergantung masyarakat yang ada di polis tersebut.
Adapun negara yang diusulkan oleh Plato berbentuk demokrasi dengan monarki, karena jika hanya monarki maka akan terlalu banyak kelaliman, dan jika terlalu dmokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan, sehingga perlu didadakan penggabungan, dan negara in berdasarkan pada pertanian bukan perdagangan ini dimaksudkan menghindari nasib yang terjadi di Athena.[6]
IV. PENUTUP
Ø Kesimpulan
Kesulitan menentukan arti penting pengaruh Plato sepanjang masa --meski luas dan menyebar-- adalah ruwet dipaparkan dan bersifat tidak langsung. Sebagai tambahan teori politiknya, diskusinya di bidang etika dan metafisika telah mempengaruhi banyak filosof yang datang belakangan. Apabila Plato ditempatkan pada urutan sedikit lebih rendah ketimbang Aristoteles dalam daftar sekarang ini, hal ini terutama lantaran Aristoteles bukan saja seorang filosof melainkan pula seorang ilmuwan yang penting. Sebaliknya, penempatan Plato lebih tinggi urutannya ketimbang pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Jefferson dan Voltaire, sebabnya lantaran tulisan-tulisan ihwal politiknya mempengaruhi dunia cuma dalam jangka masa dua atau tiga abad, sedangkan Plato punya daya jangkau lebih dari dua puluh tiga abad.
Etika tidak kalah pentingnya dengan politik itu sendiri. Saat politik senantiasa identik dengan etika egoisme pencarian kekuasaan, manipulasi angka, etika yang seringkali berusaha menggambarkan dirinya akomodatif atas kepentingan rakyat banyak, yang dalam realitas mewujudkan aspirasi mentalitas korup dengan kesadaran yang jernih atas kepentingan kelasnya sendiri, maka etika mutlak diperlukan. Mutiara yang bernama etika dan manfaat itu kian terpendam, menjadi serpihan kecil yang sangat sulit untuk dilacak. Etika kebenaran yang dalam benak Socrates bukan hanya pengagungan jiwa bersih terhadap keadilan Tuhan, melainkan memanifestasikan diri dengan pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai kejujuran menata kehidupan politik.
Meski Plato tidak pernah berpikir bahwa Negara Ideal-nya dapat bertahan abadi, namun di tengah krisis kepemimpinan ini, kita akan tetap melambungkan harapan besar hadirnya figur penguasa yang intelek, prajurit yang gagah berani, dan masyarakat yang memiliki sumber sendiri untuk menjalani hidup sesuai dengan yang mereka dambakan.
Ø Epilog
Demikian yang dapat kami sampaikan. Sedikit banyak semoga bisa menambah wawasan keilmuan kita. Kurang lebihnya mohon maaf, kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan makalah kami.
Wallahulmuwaffiq ila aqwamitthoriq
Daftar Pustaka
Beoang, Konrad Kebung, Plato : Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, cet.4, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, cet. 14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. 15, Penerbit Kanisius, yogyakarta, 1998
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, cet. 3, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Benteng Budaya, Bandung, 2002, Hlm 135
http://religiusta.multiply.com/journal/item/42,
http://plato-dialogues.org/papyrus.htm
http://wongedans.wordpress.com/p-l-a-t-o/
http://staff.blog.ui.edu/arif51/2008/05/06/selayang-pandang-tentang-plato/



[1] http://religiusta.multiply.com/journal/item/42, Rabu, 29 Okt 2008, 10.31 PM
[2] http://plato-dialogues.org/papyrus.htm
[3] http://wongedans.wordpress.com/p-l-a-t-o/, Rabu, 29 Okt 2008, 10.24 PM
[4] http://staff.blog.ui.edu/arif51/2008/05/06/selayang-pandang-tentang-plato/, Rabu, 29 Okt 2008, 10.40 PM
[5] David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Benteng Budaya, Bandung, 2002, Hlm 135
[6] Ibid, http://staff.blog.ui.edu/arif51/2008/05/06/selayang-pandang-tentang-plato/, Rabu, 29 Okt 2008, 10.20 PM



Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal

HAK POLITIK PEREMPUAN PERSPEKTIF ISLAM: KAJIAN TAFSIR MAWDÛ`Î Istibsyaroh Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya



Abstrak

Penelitian ini berjudul Hak Politik Perempuan Perspektif Islam dalam kajian Tafsir Mawdû`î, Sementara ini, pandangan yang berkembang dalam masyarakat, masih terjadi dua kutub yang berseberangan.  Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik dan tidak boleh berpolitik. Pandangan lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang politik. Hal tersebut terjadi karena belum difahaminya konsep tentang hak politik perempuan secara murni, juga karena dalam memahami teks ayat al-Qur`an masih bias jender.

Perbedaan pandangan tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam  terutama ayat al-Qur`an yang berbicara tentang politik.

            Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan dalam Islam dengan kajian Tafsir Mawdû`î, diharapkan masyarakat akan memahami dan tidak menganggap tabu terhadap perempuan yang terjun di dunia politik.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini, sesuai dengan metode mawdû`î yang banyak digunakan penulis, diawali dengan melakukan identifikasi dan klasifikasi ayat-ayat tentang politik dalam al-Qur`an, kemudian dilakukan analisis mendalam terhadap ayat yang berhubungan dengan politik tersebut dengan disempurnakan dengan hadis-hadis yang berhubungan dengan hak politik  perempuan.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa perempuan mempunyai hak dalam berpolitik menurut Islam. Laki-laki dan perempuan berkewajiban untuk amar makrûf nahî munkar melalui beberapa cara termasuk diantaranya dengan media politik
Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.






                                                               I
Masalah perempuan tampaknya akan menjadi persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya pencarian solusi bagi keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah keberadaan perempuan, melainkan membangun kembali, khususnya berkenaan dengan isu kodrati yang mengakibatkan perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang memprihatinkan.
Tidak mustahil apabila ada sebagian kalangan yang menganggap keterlibatan perempuan dalam  aktivitas politik tidak mencerminkan sosok perempuan ideal dalam Islam. Hal itu karena kuatnya asumsi masyarakat tentang pembagian peran perempuan bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah.
Demikian pula, wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
  
                                                          II
Mengenai perempuan berpolitik terdapat dua pendapat ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
a. Perempuan berpolitik dilarang.
Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut:
  1.Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena  Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
3 .Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki  (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.

b. Bolehnya Perempuan berpolitik
Sedanmgkan pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya sebagai berikut :
   1. Pernyataan al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71). Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an surat al-Naml/27:23), seorang perempuan adalah Ratu Balqis yang memerintah di negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan” perlu diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk hadis ahad. Kalaupun dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada konteks pengucapan Nabi yang berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.

                                                                  III
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas, patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan berpolitik, sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti secara cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis akan memaparkan beberapa hal, sehingga dapat dipahami secara tepat.
 Pertama tentang  surah al-Nisa’ ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم… 

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan dari sebagian harta mereka…”

Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4: 2202).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai  penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir  dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan.
Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
              Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah  bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan  bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin: 72)
              Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran and Woman: 73).
Demikian juga Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn  disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. (Ashgar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi:.179).
              Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang  posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu.
            Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
            Dalam surat lain disebutkan, yaitu surat  Al-Baqarah/2: 228 :
   … وللرجال عليهن درجة…
“…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”
Derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah  talak, karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah politik dan kepemimpinan.
Disamping itu kata الرجال pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر بالمعروف عليهن درجة, karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.” (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân: 149-150).
Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata ال dalam الرجال menjadi نعت   atau    بيانkalau  ال menjadi بيان berarti لتعريف الحضور menunjukkan yang datang, bukan jenis, kalau ال menjadi  نعت  berarti   للعهد menunjukkan pembatasan. (Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî al-Labîb,: 49).     Dari sini menjadi jelas bahwa, laki-laki dalam  surat al-Baqarah ayat 228  berarti tidak semua laki-laki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Sedangkan menurut Al-Râgib al-Asfihâniy, الرجل  menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun dapat juga  perempuan disebut رجلة apabila dalam sebagian  ahwalnya menyerupai laki-laki. (Al-Râgib al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân: 194).
 Jadi, ayat 34 dari surat al-Nisa`  bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan  memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan  menunjukkan fenomena  yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga.(Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,  h. 10, kol.5-9)
Sedangkan masalah saksi, kesaksian dilaksanakan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam al-Qur’an:
…وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ  وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ  تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى…
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya…. (Al-Baqarah/2:282)
Kalimat “syahadah” diambil dari مشهَد  yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat mata, adapun مشهد atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran.  Berkaitan dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti M.A. atau Dr. dengan hamba-Nya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî: 1215)
            Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena,  ia melihat  perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan berpendapat lain.
             Harus dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai  yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”.     
 Sesuatu yang perlu  diperhatikan yaitu, ayat itu menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang pengalaman dalam masalah keuangan.
Pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an,  yang menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107, Al-Nisâ`/4:15,  Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6, Al-Nûr/24:8, Al-Talâq/65: 2.
    Berdasar ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya, khusus masalah keuangan, kalau perempuan menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
   Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding  perempuan.
عن عبد الله بن عمر عن رسول الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين اغلب لذى لب منكن قا لت يارسول  الله  ومانقصان  العقل  والدين  قال اما نقصان  العقل  فشهادة  امراتين تعدل شهادة رجل  فهذا  نقصان  العقل  وتمكث  الليالى ما تصلى  وتفطر فى  رمضان  فهذا نقصان  الدين. رواه مسلم
“…Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih  daripada golongan kalian, perempuan itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian  seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sholat pada malam-malam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan karena haid. Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)
(Muslim, Sahih Muslim, 2:.65. .Lihat juga Bukhari   dalam kitab Sahihnya (1462) dari Abu Sa’id al-Khudri).
Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat.
 Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan    perasaan.  Hal    ini    bukan    merupakan   kekurangan,   namun  sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit.
Kendati demikian, perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah  perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi  atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
      Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam   perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
                Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.  
 Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi. (Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan  ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi ada hadis qudsi yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:
عن ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم اعرابيا قاكرمه فقال له: ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل حاجتك قال ناقة تركبها واعنز يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه انضبوا  هذا الماء  فأنضبوه  فقالت احتفروا فاحتفروا  فاستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوه  الى الارض فاذا  الطريق  مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu beliau berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau naiki, aku bermaksud agar keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil. ”Para sahabat bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir, mereka tersesat jalan.
Maka Musa berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba. Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin menjawab:”Perempuan tua dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan) pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka perempuan itu pergi bersama mereka ke danau, tempat menggenangnya air. Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan seperti cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib: 149-151.).

Hadis ini sebagai salah satu bukti bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, dan ingatan itupun berhubungan dengan kecerdasan akal. Dengan demikian, perempuan mampu menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan diajak bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau perempuan itu kurang akal dan agama.

                                                   IV          
Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan  ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ  الصَّلاةَ  وَيُؤْتُونَ  الزَّكَاةَ  وَيُطِيعُونَ  اللَّهَ  وَرَسُولَهُ  أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ  اللَّهُ إِنَّ  اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
 “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.

          Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam  masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
 Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.
Demikian juga pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf  dan nahi munkar artinya “Menciptakan kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan ayat itu menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Hak perempuan di bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam  konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %”
 
 Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang jabatan adalah:
عن ابى بكرة  قال لقد نفعني الله  بكلمة سمعتها من رسول الله  صلى الله عليه وسلم آيام الجمل  بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله   صلى الله عليه وسلم  ثم آن  اهل فارس قد ملكوا  عليهم بنت كسرى  قال  لن يفلح  قوم  ولو امرهم  امرأة رواه البخارى         
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW  berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)

Hadis tersebut dalam tingkatan ahad tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurûdnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan.
 Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul.
  Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hadis tersebut memakai kata امرأة adalah bentuk nakirah jadi perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu ada  taqyid atau batasan, artinya perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak menjadi masalah kalau dia menjadi  pimpinan atau memegang jabatan.
 Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti:62).
 Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat terkemuka.
           Bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti persoalan dalam suatu negara
                                                                    
                                                                      V
Demikianlah pembahasan secara kritis tentang hak perempuan dalam politik menurut Islam. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik, demikian juga menjadi pemimpin. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Jadi Islam memberikan peran terhadap perempuan untuk berpolitik.













Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal
Search Terms : property home overseas properties property county mobil sedan oto blitz black pimmy ride Exotic Moge MotoGP Transportasi Mewah free-islamic-blogspot-template cute blogger template free-blog-skins-templates new-free-blogger-templates good template blogger template blogger ponsel Download template blogger Free Software Blog Free Blogger template Free Template for BLOGGER Free template sexy Free design Template theme blogspot free free classic bloggerskin download template blog car template website blog gratis daftar html template kumpulan templet Honda SUV car body design office property properties to buy properti new